Press "Enter" to skip to content

Reinforcement Bias di Era Misinformasi: Ketika Gangguan Teknis Dibaca sebagai Manuver Politik

Social Media Share

Oleh: Omar Sugiharto

Magister Rekayasa Pertahanan Siber, Unhan RI

Beberapa waktu lalu, X.com tiba-tiba ngadat. Linimasa Indonesia langsung heboh: ada yang bilang pemerintah sedang “membungkam kritik”, ada yang mengaitkannya dengan pembahasan RUU KUHAP, dan ada pula yang percaya ini bagian dari skenario besar mengontrol ruang digital.

Padahal, penjelasan teknis menunjukkan penyebabnya sangat biasa: Cloudflare—layanan global yang dipakai ribuan situs—sedang bermasalah. Dampaknya terasa dari ChatGPT hingga Spotify, bukan hanya X.com.

Namun tetap saja, banyak orang lebih memilih narasi politik daripada penjelasan teknis. Ini bukan kebetulan. Kita sedang hidup di era reinforcement bias: kecenderungan mempercayai hal-hal yang sudah sesuai dengan prasangka kita.

Algoritma Lebih Suka Emosi daripada Logika

Dunia digital saat ini tidak dirancang untuk membuat kita lebih kritis, tapi membuat kita lebih betah. Algoritma media sosial bekerja seperti pelayan pribadi yang terus menghidangkan hal-hal yang kita sukai—termasuk kecurigaan dan kemarahan.

Akibatnya, ketika Cloudflare error, banyak orang langsung menghubungkannya dengan politik. Bukan karena publik tidak mampu berpikir rasional, tapi karena sistem digital memanjakan sisi emosional kita.

Gangguan Teknis, Tafsir Politik

Saat X down, sebenarnya pesan error-nya mudah ditebak: itu masalah Cloudflare. Tapi di Indonesia, rumor selalu lebih cepat daripada fakta. Ada beberapa penyebabnya:

  1. Kepercayaan publik sedang tipis.
    Jika rasa percaya sudah retak, hal teknis pun terasa seperti manuver kekuasaan.
  2. Penjelasan teknis kalah cepat dari spekulasi.
    Butuh waktu untuk memahami cacat sistem. Tapi untuk bikin rumor? Lima detik cukup.
  3. Internet kita tak memberi ruang jeda.
    Semua serba cepat, dan yang pelan—meski akurat—sering tak kedengaran.

Hasilnya: lag server bisa berubah menjadi isu “lag demokrasi”.

Ketika Minim Pengetahuan Menjadi Risiko Nasional

Masalah kita bukan hanya soal ketergantungan pada Cloudflare. Yang lebih gawat adalah rendahnya pemahaman dasar tentang cara internet bekerja. Kekosongan pengetahuan ini mudah diisi oleh narasi politik, kecurigaan, bahkan teori konspirasi.

Karena itu, literasi digital seharusnya bukan lagi dianggap bonus, tapi kebutuhan dasar—selevel baca-tulis-hitung.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

  1. Jadikan literasi digital kompetensi wajib.
    Bukan cuma belajar make gawai, tapi paham cara kerja ekosistem digitalnya.
  2. Kenali bias kognitif dalam diri sendiri.
    Menyadari bahwa kita bisa salah adalah langkah pertama melawan misinformasi.
  3. Dorong platform lebih transparan.
    Kalau terjadi gangguan, publik butuh penjelasan cepat dan simpel.
  4. Audit algoritma.
    Polarisasi bukan semata soal budaya, tapi soal bagaimana platform dirancang.
  5. Perbaiki komunikasi pemerintah.
    Kepercayaan publik itu seperti firewall sosial—menjaga kita dari rumor yang tidak masuk akal.

Penutup: Ancaman Itu Ada di Cara Kita Berpikir

Cloudflare tidak sedang menyerang Indonesia. Pemerintah tidak memblokir X.com. Yang benar-benar berbahaya adalah cara kita membaca dunia digital: ketika emosi berlari lebih cepat daripada fakta, ketika asumsi mengalahkan logika.

Sebagai mahasiswa pertahanan siber, saya percaya masa depan ketahanan nasional bukan hanya ditentukan oleh firewall dan enkripsi, tapi juga oleh kemampuan publik untuk menunda prasangka, menengok ulang informasi, dan tetap waras di tengah banjir misinformasi.***

 

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *