Press "Enter" to skip to content

Kesesuaian Jalannya Politik Hukum dan Kekuasaan Bisa Berdampak Meningkatnya Kesejahtaraan Ekonomi Masyarakat

Social Media Share

JAKARTA, NP- Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan ilmu hukum dalam praktiknya sangat berkaitan dengan ilmu politik, ilmu ekonomi, juga praktik kekuasaan.

Sebab menurutnya, politik tanpa hukum bisa menimbulkan anarki. Hukum tanpa politik hanya menjadi rangkaian kata-kata. Begitu juga politik dan hukum, tanpa kekuasaan hanya akan berupa angan-angan.

Oleh karena itu, ketiganya harus memiliki kesesuaian. Jika dijalankan dengan baik sesuai ketentuan, maka politik, hukum, dan kekuasaan bisa berujung pada peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

“Karenanya, jika ingin menjadi negara maju yang modern, Indonesia harus memiliki tokoh politik, tokoh hukum, tokoh ekonomi, dan tokoh kekuasaan yang bisa menjaga masing-masing pilar tersebut sesuai tugas dan fungsinya,” ucap Bamsoet dalam Kuliah Umum Politik, Hukum, Ekonomi, dan Kekuasaan di Universitas Borobudur, Jakarta, Sabtu (9/9/2023).

Bamsoet kesejehtaraan ekoonomi yang diharapkan bukan ekonomi milik perorangan ataupun golongan. Sebab sudah menjadi rahasia umum, untuk menguasai sumber daya ekonomi, banyak yang terlebih dahulu menguasai kekuasaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Mendapatkan kekuasaan, selain melalui jalan politik juga seringkali dilakukan dengan mempolitisasi hukum.

Ke depan, ia menegaskan Indonesia membutuhkan tokoh yang mampu mencegah terjerumusnya negara dalam pratik demokrasi NPWP (Nomor Piro Wani Piro). Hal ini penting karena praktik demokrasi NPWP hanya berujung pada lahirnya oligarki atau kekuasaan yang terpusat pada satu kelompok pemilik modal.

Harus diakui, sambung Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini, praktik demokrasi dalam upaya merebut kekuasaan telah masuk ke dalam relung-relung demokrasi yang semakin mahal. Ia berharap, perguruan tinggi mengambil peran strategis dalam melahirkan peserta didik yang tidak hanya pintar secara akademis, melainkan juga memiliki karakter kebangsaan yang berhati Indonesia dan berjiwa Pancasila.

Berbagai perguruan tinggi diajak melalui lembaga kajian dan penelitian yang dimilikinya untuk mengkaji sistem politik dan pemilihan langsung yang dilakukan dari mulai tingkat pemilihan kepala desa, bupati/walikota, gubernur, legislatif, hingga presiden.

Dalam konteks ke-Indonesiaan, praktik kehidupan demokrasi dijiwai sila keempat Pancasila yang mengamanatkan penegakan kedaulatan rakyat, serta melembagakannya dalam mekanisme permusyawaratan/perwakilan.

Mengejawantahkan kedaulatan rakyat dalam lembaga perwakilan, idealnya dapat dimanifestasikan melalui beberapa jalur representasi. Antara lain representasi politik yang sudah terwadahi dalam DPR RI, representasi kedaerahan yang sudah terwadahi dalam DPD RI, serta representasi golongan/kelompok fungsional yang bisa terwadahi dalam Utusan Golongan.

Sebelum perubahan (amandemen) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, MPR terdiri terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Lalu pascaamandemen, sesuai ketentuan pasal 2 Ayat (1), MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum.

“Perubahan tersebut berdampak pada hilangnya unsur Utusan Golongan. Akibatnya, tidak heran jika kini banyak yang menilai bahwa gambaran ideal mengenai demokrasi partisipatoris yang melingkupi semua kelompok kepentingan belum sepenuhnya terpenuhi,” jelas Bamsoet.

Lebih jauh, katanya lagi, sejak Indonesia merdeka tahun 1945, pembangunan hukum terus dilakukan. Antara lain dengan mengganti produk hukum yang berasal dari jaman sebelum Indonesia merdeka, melakukan pembaharuan hukum nasional, hingga membentuk hukum baru. Inilah yang kita sebut sebagai politik hukum nasional.

Dasar hukum pembangunan yang digunakan pada Orde Lama yaitu Rencana Pembangunan Semesta Berencana. Pada Orde Baru dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam dua era kekuasaan tersebut, pembentukan peraturan perundang-undangan berada pada presiden.

Lalu pada era reformasi, kekuasaan pembentukan Undang-Undang beralih ke DPR. “Kita juga tidak lagi memiliki GBHN, yang mengakibatkan tidak adanya keselarasan antara pembangunan pusat dan daerah, serta kesinambungan antara pemerintahan yang satu dengan penggantinya,” urai Bamsoet.

Saat ini, MPR RI sedang mempersiapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai payung hukum pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di Indonesia dalam menghadapi Revolusi Industri 5.0. Pentingnya menghadirkan PPHN berangkat dari sebuah kebutuhan terhadap hadirnya prinsip-prinsip yang bersifat direktif, yang bisa menjabarkan prinsip-prinsip normatif dalam Konstitusi menjadi kebijakan dasar politik negara, sebagai panduan atau pedoman bagi penyelenggaraan pembangunan nasional.

“Selain memastikan program pembangunan tidak mangkrak, keberadaan PPHN juga akan menjawab megatrend dunia. Seperti, kemajuan teknologi, dinamika geopolitik dan geoekonomi global, demografi dunia, urbanisasi global, perdagangan internasional, keuangan global, persaingan sumber daya alam dan perubahan iklim, yang semuanya akan berpengaruh pada pembangunan Indonesia,” tegas Bamsoet.(dito)

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *