Press "Enter" to skip to content

RUU PPRT Tak Kunjung Dibahas, Ketua Panja Singgung Ketua DPR RI

Social Media Share

JAKARTA, NP- Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) tak kunjung dibahas di DPR.

Meski RUU tersebut telah resmi diputuskan rapat paripurna DPR menjadi usul inisiatif DPR satu tahun yang lalu, dan Presiden telah mengirimkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) ke pimpinan DPR serta menunjuk kementerian yang mewakili pemerintah untuk melakukan pembahasan RUU PPRT bersama DPR, namun RUU PPRT tak kunjung dibahas bersama antara pemerintah dan DPR.

Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU PPRT Willy Aditya menyebut mandeknya pembahasan RUU PPRT terkendala oleh Ketua DPR Puan Maharani.

“Kendalanya di Ketua DPR. Ketua DPR-nya nggak mau bahas-bahas di paripurna,” ungkap Willy Aditya dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema ‘RUU PPRT Sebagai Upaya Melindungi Pekerja Rumah Tangga’ di Ruang Pusat Penyiaran dan Informasi Parlemen (PPIP), Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/7/2024).

Soal alasannya, Willy mengaku tidak tau pasti. “Ditanyakan aja kepada Ketua DPR. Teman-teman bisa tanya ke PDI Pejuangan,” sambungnya.

Namun yang pasti, Willy menjelaskan ada perbedaan pandangan dalam menyikapi status pekerja rumah tangga. Sejak diajukan dan disusun sejak 20 tahun lalu, mulai periode masa keanggotaan DPR 2004-2009 sampai periode 2019-2024, RUU PPRT telah mengalami beberapa kali perubahan judul.

Penamaan istilah pekerja rumah tanggal menjadi salah stau titik krusial perbedaannya. Menurut Willy, di periode keanggotaan DPR RI 2019-2024 saat ini, RUU ini dinamakan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).

“Tidak pakai istilah pembantu, tidak pakai istilah asisten,” sebut Politisi Partai NasDem ini.

Jika merujuk UU Nomor 13 Tahun 2004 tentang Ketenagakerjaan, hanya menyebut pekerja sebagai orang yang bekerja di sektor barang dan jasa. UU Ketenakerjaan tidak mengakui pekerja rumah tangga sebagai pekerja.

“Hanya menyebut pekerja sebagai orang yang bekerja di sektor barang dan jasa. Mereka yang bekerja di sektor domestik atau pekerja rumah tangga, pekerja sosial. Itu tidak diakui sebagai pekerja,” terang Willy.

Dampaknya, kata Willy, pekerja rumah tangga tidak mendapat jaminan perlindungan oleh UU. Padahal, pekerja rumah tanggak juga pekerja yang harusnya mendapat hak dan kewajiban sama sebagai warga negara.

“Pertama yang ingin kita atur adalah bagaimana ada perlindungan. Karena apa? Sejauh ini karena mereka tidak pernah diakui sebagai status pekerja. Dan itu ada di dalam ruang-ruang yang masih dianggap baik. Karena rumah tangga kemudian kita mencoba masuk dengan narasi perlindungan,” ujar Willy.

Dengan demikian, ia berharap ada standing point berupa perlindungan kepada pekerja rumah tangga yang memang rentan mengalami diskriminasi.

Kedua, sambung dia, adanya kecenderungan pekerja rumah tangga mengalami kekerasan, eksploitasi.

Diakui Willy, karena memang pekerja rumah tangga selama ini umumnya tidak diwadahi oleh badan hukum. Oleh karena itu, ke depan RUU ini menekankan pada perizinan yang izinnya akan dikeluarkan di tingkat kabupaten/kota.(har)

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *