JAKARTA, NP- Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan menolak permohonan uji materi sistem pemilu proporsional dengan daftar calon anggota legislatif (caleg) tertutup dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dengan putusan MK itu, maka Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka dalam memilih caleg.
Putusan dibacakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dengan agenda Sidang Pleno Pengucapan Ketetapan dan Putusan dengan Nomor Perkara 114/PUU-XX/2022 dan 43,44,45,47,48/PUU-XXI/2023 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (15/6/2023).
Sidang dilakukan secara terbuka dan disiarkan secara langsung melalui siaran YouTube Mahkamah Konstitusi sehingga masyarakat dapat menyaksikan dan mengikuti jalannya persidangan secara langsung.
Dari 9 hakim MK yang ada, hanya satu hakim konstitusi yang berhalangan hadir. Hakim konstitusi Wahidin Adams tampak berhalangan hadir.
“Berdasarkan UUD RI 1945 dan seterusnya, amar putusan mengadili, dalam profesi menolak permohonan profesi para pemohon, dalam pokok permohonan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan.
Dengan putusan uji materi itu, majelis hakim konstitusi maka pada Pemilu 2024, masyarakat selaku pemilik suara bisa secara langsung memilih caleg yang diinginkan agar bisa menjabat sebagai anggota dewan.
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi pasal dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang sistem pemilihan umum (pemilu) proporsional terbuka. Dengan putusan perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 tersebut, maka pemilu tetap memakai sistem proporsional terbuka.
“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap Hakim Ketua Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan yang digelar di gedung MK.
Hakim konstitusi lainnya, Sadli Isra menyatakan Mahkamah mempertimbangkan implikasi dan implementasi penyelenggaraan pemilu yang tidak semata-mata disebabkan oleh pilihan sistem pemilu. Menurut Saldi Isra, dalam setiap sistem pemilu terdapat kekurangan yang dapat diperbaiki dan disempurnakan tanpa mengubah sistemnya.
Perbaikan dan penyempurnaan dalam penyelenggaraan pemilu dapat dilakukan dalam berbagai aspek, mulai dari kepartaian, budaya politik, kesadaran dan perilaku pemilih, hingga hak dan kebebasan berekspresi.
Sebelumnya, pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 426 ayat (3) di UU Pemilu bertentangan dengan Konstitusi.
Penegasan tersebut berkaitan dengan pokok permohonan uji materi para pemohon yang mendalilkan bahwa sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak, telah dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dengan partai politik.
Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili partai politik namun mewakili diri sendiri.
“Kata ‘terbuka’ pada pasal 168 ayat (2) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat,” demikian salah satu petitum pemohon, sebagaimana dibacakan oleh hakim MK.
“Kata ‘proporsional’ dalam pasal 168 ayat (2) bertentangan sepanjang tidak dimaknai ‘sistem proporsional tertutup’,” sambungnya.
Total ada sembilan petitum yang dimohonkan oleh para pemohon. Namun menurut hakim MK, bertumpu pada norma pasal 168 ayat 2 UU 7/2017 khususnya pada kata ‘terbuka’.
Hakim konstitusi menyatakan norma pasal 168 ayat (2) UU Pemilu, yang dimohonkan para pemohon intinya menyatakan yang konstitusional, atau tidak bertentangan dengan UUD 1945, adalah sistem pemilu proporsional dengan daftar tertutup.
Terkait itu, MK mempertimbangkan terlebih dahulu baik buruknya sistem politik antara sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup dalam putusannya.
Kekurangan dan Kelebihan
Sebelum memutuskan, majelis hakim konstitusi membacakan kelebihan dan kekurangan sistem proporsional terbuka dan tertutup.
Hakim Suhartoyo yang juga membacakan kelebihan dan kekurangan mengawali kelebihan sistem pemilu proporsional terbuka. Kelebihan sistem pemilu proporsional terbuka sepeti disebutkan Hakim Suhartoyo antara lain pertama, mendorong persaingan yang sehat antara kandidat dan meningkatkan kualitas kampanye serta program kerja mereka.
Selain itu, memungkinkan pemilih menentukan calon secara langsung. Sehingga pemilih memiliki kebebasan memilih dari partai politik tertentu tanpa terikat nomor urut yang telah ditetapkan oleh partai tersebut.
“Hal ini memberikan fleksibilitas pemilih untuk memlilih calon yang meraka anggap paling kompeten atau sesuai dengan preferensi mereka,” ucap Suhartoyo.
Kelebihan lainnya, pemilih memiliki kesempatan untuk melibatkan diri dalam pengawasan terhadap tindakan dan keputusan yang diambil oleh wakil yang mereka pilih sehingga meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam sistem politik termasuk meningkatkan partisipasi pemilih.
Selain itu, sistem proporsional terbuka juga dinilai lebih demokratis karena dalam sistem ini representasi politik didasarkan pada jumlah suara yang diterima oleh partai politik atau calon sehingga memberikan kesempatan yang lebih adil bagi partai atau calon yang mendapatkan dukungan publik yang signifikan.
Sedangkan kekurangan dari sistem proporsional terbuka yaitu berpotensi memunculkan politik uang. Dikhawatirkan dengan modal politik yang besar dapat menjadi hambatan bagi kandidat dari latar belakang ekonomi yang lebih rendah untuk berpartisipasi.
Kekuarangan lainnya, dapat mereduksi peran partai politik sehingga menyebabkan kemungkinan adanya jarak antara anggota calon legislatif dengan partai politik yang mengajukannya sebagai calon.
Kelemahan lainnya adalah meminimkan peran partai politik terutama dalam memberikan pendidikan politik. Karena parpol cenderung memiliki peran yang lebih rendah dalam memberikan pendidikan politik kepada pemilih.
“Akibatnya peran partai politik menjadi kurang fokus dalam memberikan informasi dan pemahaman yang mendalam tentang isu-isu politik kepada pemilih,” kata Suhartoyo.
Dissenting Opinion
Putusan ini juga diwarnai pendapat berbeda atau dissenting opinion dari satu hakim, yaitu hakim konstitusi Arief Hidayat.
Ia menilai permohonan pemohon harus dikabulkan untuk sebagian.
“Saya berpendapat bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian oleh karenanya harus dikabulkan sebagian,” ujarnya.
Ia mennyarakan sistem pemilu harus diubah menjadi sistem pemilu proporsional terbuka terbatas. Untuk itu, ia juga memberikan tiga alternatif untuk penetapan caleg terpilih.
Pendapat Arief didasarkan pada pelaksanaan sistem pemilu proporsional terbuka yang ternyata didasarkan pada demokrasi yang rapuh lantaran para caleg bersaing tanpa etika dan menghalalkan segala cara.
Kendati demikian, penerapan sistem pemilu proporsional tertutup seperti yang diminta pemohon bukanlah solusi tepat karena diibaratkan seperti membeli kucing dalam karung.
“Mengusung sistem pemilu proporsional tertutup seperti yang dimintakan pemohon bukanlah solusi yang tepat karena berpotensi membeli kucing dalam karung dan hanya memindahkan perilaku politik transaksional antara calon anggota legislatif,” ujarnya.
Untuk diketahui uji materi penerapan sistem proporsional terbuka diajukan sejumlah pemohon yaitu Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP cabang Banyuwangi), Yuwono Pintadi dan Fahrurrozi (Bacaleg 2024), Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jakarta Selatan), Riyanto (warga Pekalongan), dan Nono Marijono (warga Depok). Mereka memilih pengacara dari kantor hukum Din Law Group sebagai kuasa hukum.
Sementara dari 9 partai politik yang ada di DPR RI, hanya PDI Perjuangan yang menginginkan penerapan kembali sistem proporsional tertutup. Sedangkan 8 parpol di DPR tetap meminta agar Mahkamah Konstitusi tetap mempertahankan sistem pemilu proporsional terbuka.(dito)
Be First to Comment