Press "Enter" to skip to content

Rapat Konsultasi DPD dengan BPK RI, Membahas Dasar Pembagian DAU, Dana Desa Siluman Sampai Diskresi Dana Bencana

Social Media Share

FOTO:
Pimpinan dan Anggota Komite IV DPD berfoto bersama usai rapat konsultasi dengan BPK RI dengan tema pembahasan hasil pengawasan Semester II 2022, Selasa (28/6/2022). (Foto: DPD RI)

JAKARTA, NP- Komite IV DPD RI melakukan rapat konsultasi dengan BPK RI dengan tema pembahasan hasil pengawasan Semester II 2022, Selasa (28/6/2022). Rapat juga dihadiri oleh Badan Akuntabilitas Publik (BAP) DPD RI.

Rombongan Komite IV DPD RI dipimpin oleh Sukiryanto, Ketua Komite IV DPD RI dan rombongan BAP dipimpin oleh Bambang Sutrisno, selaku Ketua BAP DPD RI.

Dari pihak BPK RI, Wakil Ketua BPK RI Agus Joko Pramono didampingi jajaran pejabat eselon 1 BPK RI.

Dalam sambutannya, Sukiryanto mengatakan rapat konsultasi dengan BPK RI kali ini memiliki tujuan untuk memperoleh informasi tentang hasil pemeriksaan BPK RI Semester II Tahun 2021 terutama terkait dengan tupoksi Komite IV DPD RI dan pengelolaan keuangan daerah. Selain itu, rapat ini juga bertujuan untuk memperoleh informasi tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan BPK RI atas temuan hasil pemeriksaan pada Pemerintah Daerah pada IHPS I Tahun 2021.

Ketiga, memperoleh informasi Pemantauan Penyelesaian Ganti Kerugian Negara/Daerah pada Pemerintah Daerah pada IHPS II Tahun 2021. Terakhir, diperolehnya kesepahaman antara BPK RI dan DPD RI.
“Kami berharap ada kesepahaman untuk melakukan Program Kerja sama antara DPD RI dan BPK RI sebagai tindak lanjut Nota Kesepahaman Nomor AP.00/08/DPD RI/XII/2018, Dan Nomor 4/NK/I-XIII.2/12/2018 Tentang Sinergi Pelaksanaan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia” ungkap Sukiryanto yang juga Senator Kalimantan Barat.

Lebih lanjut, Sukiryanto mengatakan ada beberapa poin yang dibahas dalam rapat konsultasi ini. Pertama hasil pemeriksaan BPK atas prioritas nasional pada aspek iklim usaha dan investasi. Temuan BPK menemukan migrasi data terkait dengan perubahan sistem Online Single Submission (OSS) 1.1 menjadi sistem OSS RBA belum dilakukan secara memadai dan terdapat 291.112 pelaku usaha. Hal ini ditengarai bisa berpotensi menimbulkan kerugian berupa investasi yang sulit direalisasikan.

“Beberapa Pemda belum dapat mengoptimalkan pemanfaatan aplikasi dalam pelayanan perizinan karena Sistem OSS RBA belum terintegrasi dengan aplikasi layanan persyaratan dasar perizinan, yaitu dengan aplikasi Geographic Information System Tata Ruang (GISTARU), Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung (SIMBG), dan aplikasi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” terang Sukiryanto.

Kemudian, pada aspek reformasi fiskal ditemukan mekanisme verifikasi dan sistem informasi yang digunakan dalam mengelola permohonan dan laporan realisasi atas pemanfaatan belum dapat menjamin kelayakan penerima insentif perpajakan PC-PEN.

Ketiga, ada potensi kehilangan penerimaan negara karena proses pendataan wajib pajak (WP) pajak bumi dan bangunan (PBB). yang belum memperhatikan persyaratan subjektif dan objektif. Empat, pendataan objek dan wajib pajak daerah dan retribusi daerah belum sepenuhnya dilaksanakan secara periodik dan berkelanjutan. Lima, perencanaan dan penganggaran program perlindungan sosial (perlinsos) melalui Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD) ditemukan ada yang bermasalah dan keenam hasil pemeriksaan Efektivitas Pengelolaan Transfer ke Daerah & Dana Desa menyimpulkan bahwa upaya yang dilakukan oleh pemerintah belum sepenuhnya efektif untuk meningkatkan TKDD yang berkualitas.

Memulai paparannya, Agus Joko Pramono menerangkan anatomi IHPS II 2021. “Sistematik IHPS II 2021 terdiri dari lima bab. Bab satu berisi hasil pemeriksaan pusat, bab dua hasil pemeriksaan pemerintah daerah dan BUMND, bab tiga hasil pemeriksaan BUMN dan Badan Lainnya, bab keempat hasil pemeriksaan prioritas nasional 1 dan prioritas nasional 3 dan bab terakhir berisi hasil rekomendasi” terang Agus.

Selain itu, Agus menerangkan mulai 2019, BPK tidak lagi membagikan laporan hasil pemeriksaan berupa dokumen cetak, tapi membagikan dokumen soft copy. ”Sejak 2019, kami membagikan ikhtisar hasil pemeriksaan berupa soft file. Kami bagikan via link (untuk mengunduh), dan USB drive. Dokumen cetak ada, namun terbatas,” terang Agus.

Memasuki sesi tanya jawab, Senator Elviana asal Jambi mengatakan sosialisasi Dana desa kepada kepala desa cukup efektif. Selanjutnya, Elviana mendalami persoalan audit BPK atas dana PEN. “Bagaimana hasil audit BPK RI terhadap dana PEN?” tanya Elviana.

Casytha Kathmandu, Senator Jawa Tengah memperdalam isu terkait dengan formula penyaluran TKDD (Transfer ke Daerah dan Dana Desa). “Jumlah TKDD yang disalurkan ada formulanya. Apakah dari BPK RI tahu cara menghitung TKDD yang disalurkan? Apakah BPK RI melihat kesesuaian antara yang dihitung dengan realisasi penyaluran TKDD tersebut?” tanya Casytha yang juga Wakil Komite IV DPD RI.

Senada dengan Casytha, Novita Annakota Senator asal Maluku mendalami tiga hal. Pertama terkait rekomendasi BPK RI atas TKDD. Kedua, terkait dengan diskresi yang selama ini BPK RI selalu memeriksa TKDD. Ketiga terkait kesiapan SDM BPK dalam mengaudit SGDs yang terintegrasi dengan dana desa. “Apa rekomendasi BPK RI terkait masalah TKDD? Bagaimana kesiapan SDM BPK untuk mengaudit SDGs yang terintegrasi dengan Dana Desa?” tanya Novita.

Amirul Tamim Senator Sulawesi Tenggara mempertanyakan semakin banyaknya opini WTP di daerah tapi belum berbanding lurus dengan kesejahteraan daerah. “Artinya, penyajian laporan tiap unit kerja semakin baik. Namun, pengamatan saya belum berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat daerah. Selain itu, masih ada belum kesesuaian antara RPJMD dengan penyajian laporan capaian program,” tanya Amirul.

Kemudian Senator Papua Barat, Sanusi Rahaningmas mendalami permasalahan proyek-proyek pemerintah terkait transmigrasi di Papua Barat. “Ada masalah pada pembangunan di atas tanah kontrak. Bila kontrak usai, Gedung tersebut diserahkan kepada pemilik tanah. Menurut BPK RI, apa jawaban saya kepada masyarakat yang bertanya terkait hal tersebut? “tanya Sanusi.

Arniza Nilawati, Senator Sumatera Selatan menanyakan siapa yang pihak yang mengaudit BPK. “Bagaimana mekanisme penetapan KAP (kantor akuntan publik) yang memeriksa BPK?” tanya Arniza.

Selanjutnya, Edwin Pratama Putra Senator Riau mengungkapkan ada BUMD di Riau yang bergerak di sektor Migas. Tiap akhir tahun, BUMD tersebut selalu ada PHK karena tidak sanggup membayar gaji. “Apakah ada mekanisme Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) sebagai bentuk perhatian kami kepada BUMD tersebut dan dinas terkait?” tanya Edwin.

Audit Daerah

Menanggapi pertanyaan dan pernyataan anggota Komite IV DPD RI, Wakil Ketua BPK RI menyampaikan beberapa hal. Pertama BPK telah mengaudit anggaran terkait SDGS. “Kami bahkan pernah mempresentasikan hasil audit SDGs di depan PBB,” terang Wakil Ketua BPK RI Agus Joko Pramono.

Terkait dengan proyek kementerian di daerah, auditornya adalah BPK RI pusat, sedangkan jika pembiayaan proyek dari APBD, maka auditornya adalah BPK RI Perwakilan di daerah.

Kemudian, BPK RI tahun 2015 pernah mengaudit mekanisme penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU). Terdapat salah satu permasalahan yakni terkait dasar pembagian, apakah angka real atau angka rencana jumlah pegawai (tahun berikutnya-pen).

Terkait dengan dana desa, ada temuan dana desa siluman. Dana ini muncul dari alokasi dana desa yang akan dibagikan kepada desa yang rencananya akan dimekarkan, bukan desa yang sudah ada.

Menanggapi aspek diskresi pada kondisi force majeoure, belum ada mekanisme dana stand by. Hingga saat baru ada mekanisme diskresi ketika bencana terjadi.

Agus melanjutkan, pemerintah pusat saat ini lebih leluasa dalam menyesuaikan anggarannya. Di pemerintah pusat, meski sudah ada melalui APBN-P, ketika di tengah tahun anggaran perlu perubahan, maka bisa disesuaikan. Sedangkan di APBD, perubahan anggaran hanya bisa melalui APBD-P.

Kemudian terkait dengan opini WTP, Agus menyatakan tidak bisa disandingkan dengan indikator kesejahteraan sebuah daerah. Capaian WTP adalah ukuran akuntansi, tidak bisa disandingkan dengan aspek lain seperti aspek output pembangunan. Meskipun demikian, WTP adalah syarat minimal laporan keuangan untuk bisa dibaca dan ditelaah. WTP adalah keharusan, bukan prestasi.

Menanggapi pertanyaan siapa yang mengaudit BPK, Agus mengatakan BPK diaudit oleh KAP yang dipilih DPR. Selain itu BPK RI juga diaudit oleh BPK luar negeri. “Ini menjadi satu-satunya yang ada di dunia, dimana BPK suatu negara di audit oleh BPK negara lain,” ucap Agus.

Menjawab pertanyaan Senator Edwin, Agus mengatakan bahwa bisa diusulkan untuk dilakukan PDTT (Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu). (har)

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *