JAKARTA, NP- Ketua Kelompok DPD di MPR RI, Tamsil Linrung mengungkapkan biaya penyelenggaraan pemilu yang semakin mahal dianggarkan tidak berbanding lurus dengan kualitas demokrasi yang dihasilkan dari pesta demokrasi tersebut.
“Biaya pemilu yang begitu besar, sementara ada perasaan juga dirasakan di parlemen ini, utamanya kami di senator ini. Bahwa sepertinya demokrasi di dalam perjalanan ke sini (menjadi Anggota DPD RI), semakin kita rasakan semakin jauh dari esensi (demokrasi). Karena itu untuk apa biaya yang begitu besar, sementara kita semakin jauh dari esensi,” ujar Tamsil Linrung dalam diskusi Dialog Kebangsaan bertajuk ‘Katakan Tidak pada Biaya Pemilu dan Pilkada Mahal’ di Lobi Gedung DPD RI, Kamis (23/6/2022).
Senator dari Sulawesi Selatan ini mengatakan ada beberapa persoalan yang membuat penyelenggaraan ketatanegaraan semakin jauh dari esensi demokrasi meski negara telah mengeluarkan biaya begitu besar.
Sebagai Anggota DPD RI, ia mengaku mulai meragukan bahwa biaya mahal pemilu yang diharapkan menghasila pemilu berkualitas bisa diwujudkan.
“Kita meragukan bahwa itu akan bisa mewujudkan satu hasil yang maksimal. Karena bagaimana mungkin bisa mneghasilkan yang maksimal sementara sistem yang kita punya sekarang itu sudah terlihat jauh dari kemungkinan itu,” ujarnya.
Tamsil mencontoh, persoalan ambang batas bagi partai politik untuk bisa mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden atau presidential threshold berdasarkan perolehan sebesar 20 persen suara sah partai atau 25 persen perolehan kursi partai di DPR.
Fakta yang diproleh berdasarkan Pemilu 2019, dari 9 partai yang lolos menuju Senayan, hanya 2 partai yakni Demokrat dan PKS yang tidak masuk dalam lingkaran kekuasaan dalam barisan pengusung pemerintah.
Jika suara Demokrat dan PKS digabung paling banyak hanya memperoleh 18% suara, berarti tidak bisa mengusung satu pasangan capres/cawapres.
“Ini suatu persoalan yang secara transparan, kita bisa melihat bahwa biaya pemilu yang begitu besar tetapi di sisi lain tidak akan mungkin bisa melahirkan figur yang kita harapkan dengan kualitas yang seperti yang kita harapkan,” ujarnya.
Tamsil berharap melalui berbagai macam forum, ada penataan ulang terhadap sistem perwakilan dalam penyelenggaraan ketatanegaraan baik mengenai penataan kewenangan MPR, penataan kewenangan DPD dan penataan sistem presidensial.
Pembicara lainnya, Anggota Komisi Kajian Konstitusi dari unsur Kelompok DPD di MPR RI, Ahmad Farhan Hamid berkelakar anggaran penyelenggaraan pemilu bukan hanya mahal tetapi mahal sekali.
Karena menurut mantan Wakil Ketua MPR RI ini, mahalnya biaya pemilu bukan hanya diukur berdasarkan nominal uang yang dikeluarkan tetapi juga non materi yang sebenarnya jauh lebih besar dan mahal.
Ia mencopntoh kasus banyaknya anggota KPPS atau petugas pemilu di berbagai daerah yang meninggal dunia karena kelelahan akibat beban kerja yang terlalu berat.
“Ada pengeluaran kita yang tidak bisa dihitung (secara materi), tidak bisa dikembalikan. Apa itu? Contohnya angka kematian para petugas, pada saat pemilu yang begitu meningkat, itu kan tidak bisa kita hitung (secara materi),” kata Farhan.
“Lalu kalau kita menghitung ke angka, seperti tadi katanya ada Rp 110,4 triliun, itu untuk KPU dan Bawaslu dan mungkin Mahkamah Pengawas, tapi kalau yang terbesar itu di KPU, itu angkanya hampir Rp 80,76 triliun,” imbuh Farhan.
Sebenarnya, menurut Farhan, ada banyak penghematan anggaran negara yang bisa dilakukan. Dan penghematan biaya pemilu itu, saranya bisa dialihkan untuk hal yang lebih bermanfaat seperti pembangunan insfrastruktur masyarakat di pedalaman.
“Anggrannya kita bisa hemat. Bisa disisihkan ke daerah-daerah yang ada di pedalaman untuk meningkatkan derajat kemakmuran bangsa kita yang sangat jauh,” ujarnya.
Misalnya, mendorong memasuki penggunaan E-Voting Pemilu. Juga anggaran untuk verifikasi data pemilih. Menurutnya, KPU tidak perlu melakukan sendiri verifikasi data pemilih. Tapi gunakan data kependudukan lembaga berwenangan seperti data milik Kementerian Dalam Negeri yang memiliki kewenangan untuk itu.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni mengungkapkan ada sejumlah problematika pendanaan belanja politik.
Pertama, mengenai Pelaporan belanja kampanye yang tidak mencerminkan biaya politik yang mahal. Biaya mahal untuk komponen “Ilegal” atau aktivitas yang tidak dilaporkan. Laporan dana kampanye hanya formalitas.
Kemudian, biaya mahar atau beli perahu (candidacy buying) ditengarai sebagai penyebab tingginya biaya politik di pilkada dan ikut berkontribusi pada terbatasnya alternatif pilihan politik serta fenomena calon tunggal. “Tidak ada pembatasan transaksi tunai,” ujar Titi.
Selain itu, penegakan hukum hanya berorientasi pada operator lapangan tidak bisa menjangkau aktor intelektual/sutradaranya.
Belum ada proteksi hukum yang dianggap benar-benar memberi rasa aman bagi warga masyarakat saat mereka melaporkan berbagai praktik politik transaksional yang terjadi.
Pengawasan akuntabilitas biaya politik juga belum maksimal dan cenderung tidak menjadi prioritas. Terlalu banyak tahapan yang diawasi Pengawas Pilkada.
Titi mengatakan penyelenggara pemilu juga sulit melakukan penegakan hukum atas praktik politik uang akibat rumitnya pemenuhan unsur tindak pidana dan pembuktian yang harus dilakukan.
“Kerangka hukum yang ada saat ini masih sangat terbatas dalam mencegah manipulasi dan kecurangan terkait pendanaan biaya politik. Norma hukum jauh tertinggal dibanding praktik curang yang ada di lapangan,” kata Titi.
Untuk itu, Titi merekomendasikan agar dalam jangka panjang harus ada aturan main yang dibuat lebih mendekati realita lapangan. Sehingga regulasi mampu memotret dengan cukup utuh praktik-praktik kecurangan yang terjadi. Termasuk memperbaiki kualitas, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan dana kampanye.
KPU dan pihak berkompeten juga harus mendorong penerapan e-Literasi pemilih secara terus menerus. Lintas sektor dan lintas gerakan untuk mengedukasi praktik politik bersih dan antikorupsi.
Karena hulunya ada di partai politik, maka fungsionalisasi parpol untuk melakukan peran kontrol yang maksimal dalam kompetisi pemilu yang kompetitif.
Selain itu, sinergisitas Kementerian/Lembaga yang memiliki kewenangan terkait transaksi keuangan, penegakan hukum, dan antikorupsi guna mendukung optimalisasi pencegahan, pengawasan, dan penegakan hukum atas praktik kecurangan dan kejahatan pemilu.
“Juga harus ada upaya membangun relasi programatik dan ideologis dengan pengusung/pendukung calon dengan mengutamakan mengusung kader sendiri bila memungkinkan,” tegas Titi.
Be First to Comment