Press "Enter" to skip to content

Syarat Booster untuk Mobilitas, Epidemiolog Akui Mampu Kurangi Tingkat Keparahan Virus BA.4 dan BA.5

Social Media Share

Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Airlangga Hartarto. (Foto: Biro Pers, Media dan Informasi Setpres)

JAKARTA, NP- Pemerintah terus mengantisipasi penyebaran subvarian Covid-19 dengan terus menggencarkan proses vaksinasi dosis-3 atau booster. Hal itu terkait kenaikan kasus konfirmasi harian di beberapa negara, termasuk di Indonesia, yang disebabkan virus omicron subvarian baru yaitu BA.4 and BA.5.

Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Airlangga Hartarto mengungkapkan belum terdapat tren kenaikan kasus yang signifikan di luar Jawa-Bali.

Dari sejumlah 27.550 kasus aktif nasional, proporsi Jawa-Bali sebesar 94,23% atau 25.959 kasus aktif, sedangkan luar Jawa-Bali sebesar 5,77% dari total kasus aktif nasional atau sebanyak 1.591 kasus aktif. Meski demikian, bed occupancy rate (BOR) maupun tempat-tempat isolasi masih memadai.

“Terlepas dari adanya sedikit peningkatan kasus konfirmasi harian yang terjadi, namun tingkat BOR (isolasi dan ICU) di seluruh provinsi masih dalam tingkat yang aman, secara nasional BOR di kisaran 4%,” kata Airlangga Hartarto yang juga Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sekaligus Ketua Umum Partai Golkar itu.

Menurut Airlangga, percepatan capaian target vaksinasi booster terus didorong dengan mewajibkan berbagai mobilitas dan aktivitas masyarakat akan mempersyaratkan vaksinasi booster.

Menanggapi itu, Epidemolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan vaksinasi covid-19 memang seharusnya sampai dosis ketiga atau booster. Pasalnya, vaksinasi memberikan imunitas jangka pendek.

“Menurut saya, dosis lengkap pemberian vaksinasi harusnya sampai booster, bukan dua kali. Vaksinasi Covid-19 itu memberikan imunitas yang jangka pendek. Jangka pendek itu imunitasnya akan terbentuk 1-3 tahun,” tegas Tri Yunis, Selasa (19/7/2022).

Menurutnya, vaksinasi memang tidak dapat mencegah infeksi, tetapi bisa menurunkan tingkat keparahan penderita Covid-19 sehingga tidak perlu dirawat di rumah sakit. Hal itu juga akan menurunkan BOR.

“Jadi, booster itu, atau vaksinasi, gunanya untuk mengurangi tingkat keparahan. Jadi orang-orang yang sudah divaksinasi tidak akan parah. Jadi itu akan menurunkan tingkat hunian rumah sakit,” tambahnya.

Terkait dengan merebaknya virus omicron subvarian baru BA.4 and BA.5 di beberapa negara, termasuk Indonesia, Miko juga menerangkan vaksinasi tidak dapat mencegah inveksi. Hanya protokol kesehatan yang bisa menahan laju penyebaran covid-19.

“Jadi, kalau vaksinasi tidak dapat mencegah infeksi. Vaksinasi, apalagi untuk BA.5 dia bisa escape dari imunitas kita. Jadi tidak dapat mencegah dari infeksi Covid-19. Seharusnya untuk mencegah itu hanya protokol kesehatan,” tandasnya.

Sebab itu, Tri menyarankan semua pihak untuk mengetatkan kembali protokol kesehatan. “Sementara saat ini masyarakat sudah mulai meninggalkan protokol kesehatan. Pemerintah harus siap siaga meningkatkan kembali protokol kesehatan,” pungkasnya.

Telemedisin Masih Tersedia

Sementara itu, Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan layanan telemedisin dan juga isoman kepada masyarakat yang positif covid masih tersedia.

“Masih, terus layanan telemedisin dan isoman yang penting laboratoriumnya terafiliasi dengan Peduli Lindungi,” katanya Selasa (19/7). Adapun layanan ini memberikan konsultasi dengan dokter dan obat gratis dari pemerintah.

Kementerian Kesehatan masih terus memonitor perkembangan di lapangan. Sesuai arahan presiden, prokes harus tetap dijalankan, percepatan vaksinasi terutama vaksin booster.

Per 17 Juli 2022, penambahan Kasus Harian Nasional sebanyak 3.540 kasus yang dikontribusikan dari Jawa-Bali sebanyak 3.368 kasus (95,15%) dan luar Jawa-Bali sejumlah 172 kasus (4,85%), yang berasal dari transmisi lokal sebanyak 3.527 kasus dan PPLN sejumlah13 kasus.

Positivity-Rate harian secara nasional cukup tinggi 5,82% (di atas standar WHO sebesar 5%). Sedangkan, Kasus Kematian tercatat rendah, yakni di luar Jawa-Bali tidak ada kasus, dan secara nasional terdapat 10 kasus.

Positivity rate yang tinggi, kata Nadia, perlu melihat faktor lain juga. “Positivity rate bisa naik karena biasanya akan ada varian baru, tetapi kita tetap lihat indikator lain seperti yang dirawat dan angka kematian,” kata Nadia.(har)

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *