JAKARTA, NP- Menjelang akhir periodesasi keanggotaan DPR RI 2019-2024, sejumlah kendala masih menjadi masalah yang membuat DPR selalu tidak mampu memenuhi target penyelesaian dan penuntasan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Herman Khaeron mengakui ada sejumlah persoalan yang harus diperbaiki dan dibenahi untuk mendorong target penyelesaian RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2023 bisa dituntaskan.
Bukan hanya itu, pembenahan juga penting dilakukan agar RUU hasil produk legislasi DPR dapat memenuhi harapan masyarakat sehingga minim digugat masyarakat melalui judicial review (uji materi) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Sebetulnya ada hal yang lebih penting, harus ada pembahasan dalam topik hari ini, di mana memang dalam proses pembulatan dan harmonisasi, ini yang menurut saya perlu dibenahi ke depan,” ujar Herman Khaeron dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema ‘Menelaah 37 RUU Prolegnas Prioritas 2023’ di Media Center Parlemen, Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Selasa (10/10/2023).
Herman Khaeron, Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat menjelaskan
dalam proses penyusunan RUU, tahapan harmonisasi dan pembulatan RUU sebenarnya tahapan yang cukup krusial dari sejumlah tahapan penyusunan, pembahasan hingga pengesahan RUU.
Namun, adakalanya pasal-pasal yang telah disusun dalam sebuah RUU tidak pernah atau bahkan tidak muncul kembali baik saat pembahasan di tingkat I (komisi dan pansus) maupun di tingkat II (rapat paripurna).
Hal itu karena Baleg tidak dilibatkan sejak awal tahapan proses penyusunannya. “Karena setelah pembulatan dan harmonisasi pada tingkat ataupun pada tahapan usul inisiasi DPR, selanjutnya tidak lagi melalui badan legislasi,” urainya.
Oleh karena itu, ia berharap pembenahan mekanisme penyusunan RUU ke depan, semua tahapan utamanya ketika dalam proses harmonisasi dan pembulatan, Baleg perlu dilibatkan. Karena proses awalnya tidak melalui badan legislasi lagi, adakalanya pasal-pasal yang ada dalam RUU yang diajukan tidak muncul.
“Nah pembahasan undang-undang itu tidak melalui lagi badan legislasi, kemudian langsung diputuskan di tingkat I,” kritiknya.
Hal lain yang perlu dibenahi dalam pembahasan RUU Prolegnas Prioritas, menurut Herman Khaeron adalah mengenai pembenahan tata cara dan mekanisme penunjukkan dan penugasan siapa yang berhak melakukan pembahasan RUU, apakah dilakukan melalui komisi terkait atau dilakukan oleh pansus.
“Ini juga penting, karena bagi undang-undang yang lintas sektoral, semestinya dibahas melalui pansus. Kalau undang-undang yang sangat sektoral itu silakan dibahas masing-masing di komisi masing-masing,” terang Herman Khaeron.
Hal ini penting sehingga tidak lagi terjadi RUU yang harus dibahas oleh pansus tetapi dibahas oleh komisi. Sebaliknya, RUU yang harusnya dibahas oleh komisi tetapi dibahas oleh pansus.
“Ini yang menurut saya, harus ada tata cara dan mekanisme yang lebih jelas. Harus ada mekanisme yang menurut saya menjadi tata cara baku yang ditetapkan oleh DPR,” tegas Herman Khaeron.
Di forum sama, Praktisi Media Friederich Batari menggarisbawahi penilaian Herman Khaeron terkait tahapan harmonisasi dan pembulatan RUU bahwa ada posisi badan legislasi yang tidak dilibatkan sejak proses pembahasan RUU tingkat I.
“Sehingga monitoring dari awal itu, desain di badan legislasi tentang produk legislasi itu mungkin saja ada yang terlewatkan, kurang lebih seperti itu,” kata Feddy, panggilan akrab Friederich Batari.
Sementara itu, Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Research & Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menyoroti keberpihakan DPR dalam membahas Prolegnas Priositas yang dilakukan DPR seringkali lebih mengakomodir kepentingan pemerintah daripada berpihak p[ada kepentingan rakyat.
“Istilahnya Legislatif Happy nggalk jalan. Karena yang terjadi malah dominan pada Eksekutif Happy. DPR hanya menjadi tukang stempel pemerintah. Apa mau pemerintah semua diamini oleh DPR. Mestinya kalau fungsi kontrol (fungsi pengawasan) tidak maksimal, maka fungsi legislasi yang harus diperkuat,” kritik Pangi.
Dalam catatan Pangi, untuk tahun 2023 ini saja, RUU Aparatur Sipil Negara (RUU ASN) yang baru disahkan menjadi RUU yang dinilai Pangi memiliki keberpihakan kepada rakyat, karena faktanya memang pengesahannya tidak menimbulkan gejolak dan unjuk rasa saat disahkan oleh DPR.
“Nah kemarin terselamatkan dengan P3K, dengan adanya UU ASN itu adalah hal yang lebih konkret. Itu betul sangat membantu masyarakat mengatasi masalah yang terjadi di pemerintahan daerah,” ungkap Pangi.(dito)
Be First to Comment