Rustani Simanjuntak, SE menulis aksara Batak di papan, membuka wawasan tentang warisan budaya yang hampir terlupa.(Ist)
JAKARTA – Di sebuah ruangan di HKBP Sudirman Jakarta, puluhan pemuda duduk tenang, memperhatikan coretan unik di papan tulis. Mereka bukan sedang belajar bahasa asing, melainkan kembali menelusuri jejak identitas mereka: Aksara Batak.
Sabtu, 4 Oktober 2025 menjadi hari yang istimewa bagi generasi muda Batak. Mereka berkumpul dalam acara Parsiajaran Marsurat Batak—sebuah gerakan untuk mengenalkan dan melestarikan aksara Batak yang kian terpinggirkan oleh zaman.
“Ini bukan sekadar tulisan. Aksara Batak menyimpan nilai-nilai, norma, dan filosofi hidup yang diwariskan oleh para leluhur,” ujar Jeki Simatupang, SE, pemerhati budaya dan praktisi aksara Batak, yang menjadi narasumber utama dalam kegiatan tersebut.

Jeki menyebut kegiatan ini sebagai langkah awal yang konkret. Bersama timnya, ia merancang pembentukan gugus tugas pelestari aksara Batak, yang ke depan akan mendorong pengakuan dari UNESCO sebagai warisan budaya dunia.
Tak hanya akademisi atau budayawan, kegiatan ini juga menggugah perhatian publik figur seperti Dr. Charles Bonar Sirait, SE, MM. Sosok yang dikenal luas sebagai pakar public speaking ini mengaku baru belakangan mengetahui keberadaan aksara Batak.
“Saya sempat terkejut. Aksara Batak itu nyata dan indah. Generasi muda harus tahu dan bangga. Saya merasa terhormat dipercaya menjadi ketua yang akan menggalang semangat generasi muda mengenal aksara ini,” ujar Charles, yang juga Ketua Parheheon Ama HKBP Sudirman Jakarta.
Suasana ruangan berubah menjadi hening saat Rustani Simanjuntak, SE, penulis buku Ende Marsurat Batak, mulai menggoreskan simbol-simbol Batak di papan. Ia menjelaskan struktur huruf, cara membaca, hingga cara menulis kata dan kalimat.
Bagi sebagian besar peserta, ini adalah perkenalan pertama dengan aksara leluhur mereka. Namun bukan berarti tak ada minat. Justru, rasa penasaran dan antusiasme mereka menyala.

“Kita hidup di era digital, tapi bukan berarti harus melupakan akar budaya. Justru di tengah modernisasi, kita harus kembali menengok siapa diri kita,” kata Sardion Silaban, ST, Ketua Dewan Bidang Kononia HKBP Sudirman, yang juga turut memberi dukungan penuh atas acara ini.
Kegiatan ini juga dihadiri tokoh-tokoh jemaat lainnya, seperti Agus Pakpahan (Ketua Seksi Ama), Jhon Nainggolan (Ketua Seksi Lansia), dan Natali br Panggabean (Ketua Seksi Parompuan), yang menunjukkan bahwa pelestarian budaya adalah kerja kolektif lintas generasi.
Hari mulai sore, namun semangat di ruang Salomo tak redup. Tangan-tangan muda itu terus mencoba menggambar ulang huruf-huruf asing yang sesungguhnya berasal dari darah dan tanah mereka sendiri.
Aksara Batak mungkin tak lagi diajarkan di sekolah, namun malam itu, di tengah hiruk-pikuk Jakarta, warisan leluhur itu kembali bersuara.(red)







Be First to Comment