Press "Enter" to skip to content

Jokowi Effect Belum Berdampak Signifikan karena Tak Gamblang Beri Dukungan

Social Media Share

Presiden RI, Joko Widodo. (Foto: Biro Pers, Media dan Informasi Setpres)

JAKARTA, NP- Hasil survei yang dirilis oleh Development Technology Strategy (DTS) menyebut bahwa dukungan Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) terhadap kandidat calon presiden (capres) di Pemilu 2024 tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan elektabilitas calon.

Jokowi effect untuk mendongkrak kandidat capres 2024 dinilai tidak signifikan karena adanya faktor kepentingan demi keberlangsungan program pemerintahan.

“Tentu Pak Jokowi harus memelihara keberlangsungan program dia dan juga harus ‘investasi’ hubungan baik dengan siapapun yang berpotensi menang di 2024,” kata Pengamat Politik, Gun Gun Heryanto, Senin (25/7/2022).

Gun-gun mengatakan Presiden Jokowi tidak pernah secara gamblang menyebutkan akan mendukung siapa, meski kerap kali Jokowi dekat dengan salah satu calon, namun menurut Gun Gun itu masih samar.
Bahkan dia meyakini untuk figur capres tertentu Jokowi tidak akan buka suara hingga hari H pencoblosan pemilu pada 14 Februari 2024 mendatang.

“Di belakang panggung, dia salah satu bentuk politik yang akan menentukan konsolidasi politik dalam pilpres 2024. Nah kesamaran itu, komunikasi tersamar dari apa yang dilakukan Pak Jokowi menyebabkan Jokowi effect sampai sekarang tidak terlalu terasa pada salah satu nama calon,” urai Gun Gun.

Dalam survei tersebut, tiga nama calon kandidat teratas adalah Ganjar Pranowo, Anies Baswedan dan Prabowo Subianto. Dengan atau tanpa ‘endorse’ dari Jokowi, elektabilitas dan popularitas mereka bergerak dinamis. Namun masih ada sejumlah kandidat yang elektabilitasnya naik perlahan, padahal pemilu makin dekat.

Gun Gun mengingatkan, ada dua gaya yang disukai masyarakat Indonesia. Presiden Jokowi unggul pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 dengan gaya equalitarian, yang merangkul, turun ke bawah, gampang dicerna.

Sementara sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggunakan gaya destructuring style yang rapi dan terorganisir. “Posisi itu akan terulang di 2024, ini adalah pertarungan dua gaya tersebut,” tandas Gun.

Tentukan Capres

Sementara itu, terkait pembentukan koalisi dini partai politik, hasil survei Development Technology Strategy (DTS) Indonesia menunjukkan belum berdampak merata pada elektabilitas anggota koalisi.

Mencermati itu, Pengamat politik Ray Rangkuti menjelaskan temuan itu memperkuat terminologi politik di Indonesia yakni elektabilitas partai ditentukan oleh partai dengan segala aktivitasnya.

Untuk itu, Ray Rangkuti yang juga Direktur Lingkar Madani (Lima) Indonesia itu menyarankan agar koalisi segera mengambil langkah pendekatan untuk memperlihatkan upaya mereka terhadap seorang calon. Misalnya seperti Koalisi Indonsia Bersatu (KIB) yang belum menetapkan satu nama tapi KIB sudah menunjukkan gelagat pada calon tertentu.

Menurut Ray, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) harus memperjelas kecenderungan terhadap nama calon. Sebelumnya, KIB memang diidentikkan dengan nama Ganjar Pranowo, namun hal itu masih belum cukup kuat.

Menurutnya, temuan survei DTS memberikan sinyal kuat bahwa partai harus mencalonkan sosok yang populer di masyarakat untuk mendongrak suara partai.

“Jadi, saya kira temuan DTS itu memberi sinyal yang kuat kepada koalisi kalau mereka tetap ngotot mencalonkan orang yang tidak begitu populer di tengah masyarakat. Risikonya, bukan saja calon mereka tidak terpilih tapi partainya mereka juga drop,” imbuh Ray.

Sebaliknya, ketika partai mengajukan nama calon presiden yang populer di tengah masyarakat, memang ada kemungkinan terpilih atau tidak. Namun, hal itu dapat berimplikasi pada kenaikan suara partai.

“Jadi misalnya kalah di pilpres tapi kan setidaknya di pileg masih dapat suara,” tegas Ray Rangkuti.(har)

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *