JAKARTA, NP- Komisi III DPR RI menggelar fit and proper test (Uji Kepatutan dan Kelayakan) bagi Calon Pimpinan dan Calon Dewan Pengawas KPK. Fit and proper test dilakukan untuk pemilihan 5 (lima) Pimpinan KPK dan 5 (lima) Dewan Pengawas (Dewas KPK ) yang dilakukan sejak hari ini, Senin (18/11/2024) hingga Kamis (21/11/2024).
Komisi III DPR RI Habiburokhman selaku pimpinan sidang mengatakan tidak menutup kemungkinan jika pemilihan Capim dan Calon Dewas KPK lebih cepat dari agenda yang ditentukan.
Uji kelayakan diawali dengan sesi pengambilan nomor urut dan pembuatan makalah 10 Capim dan 10 Calkn Dewas KPK yang hadir. Kemudian dilanjutkan sesi wawancara dan pendalaman materi makalah yang diajukan tiap calon.
Dalam sidang yang berkembang, Anggota Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mempersoalkan adanya politik berbiaya tinggi yang terjadi saat ini di Indonesia dan menjadi salah satu biang kerok penyebab korupsi, khususnya oleh pejabat publik yang terpilih melalui pemilihan langsung, termasuk pilkada.
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari tahun 2004 hingga 2023, anggota DPR dan DPRD yang terjerat kasus korupsi mencapai 344 orang. Sementara sebanyak 161 bupati/wali kota dan 24 gubernur juga terjerat kasus korupsi.
“Sistem demokrasi pemilihan langsung dalam pemilihan pimpinan daerah, pusat ataupun legislatif sangat rentan dengan money politic dan biaya tinggi, sehingga sangat berpotensi menggiring orang untuk terjerat dalam tindak korupsi. Karena saat maju dalam pemilihan memerlukan biaya yang tinggi, maka saat terpilih mereka terkadang menghalalkan segala cara agar biaya yang telah dikeluarkan bisa kembali,” ujar Bamsoet dalam fit and proper tes calon pimpinan KPK di Komisi III DPR RI.
Fit and proper test calon pimpinan KPK hari pertama yang digelar dari siang hingga malam hari ini diikuti oleh empat calon dari total sepuluh calon. Keempat calon tersebut adalah Setyo Budiyanto, Poengky Indarti, Fitroh Rohcahyanto dan Michael Rolandi Cesnanta Brata.
Bamsoet menyampaikan hasil kajian KPK menyebutkan untuk menjadi bupati atau wali kota dibutuhkan biaya setidak-tidaknya Rp 50-100 miliar. Biaya politik tinggi juga dikeluarkan para anggota legislatif untuk ikut Pemilu. Dengan adanya biaya tinggi tersebut, memungkinkan para pejabat yang terpilih tidak langsung bekerja untuk rakyat, tetapi berpikir terlebih dahulu bagaimana mengembalikan uang yang telah dikeluarkan.
“Artinya apa? Di satu sisi, sistem demokrasi makin lama makin lari dari substansinya. Demokrasi kita lebih menjurus kepada NPWP, nomor piro-wani piro. Hal ini mendorong meningkatkan tindak pidana korupsi,” kata Bamsoet.
Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini meminta kepada calon pimpinan KPK untuk mengkaji kembali apakah sistem demokrasi langsung yang dipilih saat ini menjadi penyebab kasus korupsi sulit diberantas. Karena biaya yang tinggi itu, tidak heran jika ada anggota dewan atau kepala daerah yang sering terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK.
“Apa sebenarnya yang mendorong korupsi ini sulit diberantas baik oleh KPK, kejaksaan maupun kepolisian? Apakah pilihan sistem demokrasi yang kita anut hari ini yang memaksa, mendorong orang-orang yang memiliki jabatan publik itu melakukan tindak pidana korupsi? Sudah saatnya dikaji kembali apakah sistem demokrasi langsung yang kita anut lebih banyak manfaatnya atau mudharatnya,” tegas Bamsoet yang mantan Ketua MPR dan mantan Ketua DPR RI.(har)
Be First to Comment