Oleh
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Sultan B Najamudin
MOTIVASI DPD RI dalam melakukan gugatan terhadap ketentuan pasal 222 UU Pemilu bukan sebagai agenda politik pribadi pimpinan atau anggota DPD RI.
Gugatan terhadap ketentuan PT 20 persen sepenuhnya murni sebagai wujud tanggung jawab moral DPD RI sebagai lembaga legislatif terhadap masa depan demokrasi konstitusional Indonesia yang kian terdegradasi akibat sistem Pemilu langsung serentak yang cenderung liberal, diskriminatif dan tidak inklusif. Dalam kajian DPD RI, Pemilihan umum Presiden dengan ketentuan ambang batas 20 persen dukungan partai politik merupakan sumber masalah utama praktek rent seeking dalam pemerintahan dan perilaku oligarki politik akibat mahalnya mahar politik yang dikeluarkan oleh calon presiden untuk mendapatkan dukungan partai politik.
DPD RI menolak keras pernyataan hakim MK yang mengatakan DPD tidak memiliki legal standing untuk menggugat ketentuan PT 20 persen yang tercantum dalam UU nomor 07 tahun 2017. Pernyataan tersebut sangat melukai DPD sebagai lembaga legislatif dan tentunya sangat mengganggu hubungan antar lembaga negara. Dengan pernyataan hukumnya yang fatal tersebut, MK seolah tidak mengakui eksistensi atau keberadaan lembaga DPD RI dan mengaburkan amanah konstitusi yang memberikan kewenangan legislasi kepada lembaga DPD RI. Dalam konteks ini kami minta MK secara kelembagaan memberikan klarifikasi secara jelas kepada publik, agar tidak terjadi kesalahpahaman publik tentang keberadaan lembaga DPD RI yang memilki legitimasi electoral dan merupakan lembaga perwakilan layaknya DPR RI yang merupakan bagian dari lembaga MPR RI. Secara hukum, MK seharusnya memahami bahwa Setiap UU atau peraturan perundang undangan lainnya memilki dampak sosial, politik, dan hukum kepada setiap warga negara yang wajib dilindungi oleh negara.
Maka adalah tidak etis jika MK secara diskriminatif menolak gugatan terhadap suatu UU yang layangkan oleh masyarakat baik secara pribadi maupun lembaga kepada MK, tidak terkecuali gugatan terhadap pasal 222 UU nomor 07 tahun 2017 yang telah digugat berkali-kali dan mendapatkan keputusan dissenting opinion oleh empat dari sembilan hakim MK dengan alasan kaidah hukum “open legal policy” DPR RI yang dinilai MK sebagai lembaga tunggal dalam sistem perwakilan.
Jika DPD RI sebagai lembaga legislatif yang memilki instrumen legislasi seperti DPR, ditolak gugatan hukumnya, lalu aspirasi gugatan masyarakat terhadap UU pemilu yang inkonstitusional ini harus tersalurkan melalui lembaga politik atau lembaga legislatif yang mana lagi? Gugatan (JR) yang dilakukan oleh DPD RI terhadap pasal 222 UU 7 tahun 2017 merupakan bentuk koreksi atau reaksi double check terhadap produk UU yang dilahirkan oleh DPR dan pemerintah, sebagai konsekuensi logis dari posisi lembaga DPD yang merupakan lembaga legislatif kedua dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Dalil MK yang menyebutkan bahwa PT 20 persen merupakan upaya konstitusional dalam memperkuat sistem presidensial dalam sistem demokrasi Indonesia merupakan argumentasi yang tidak berdasar dan cenderung membiarkan status quo yang disebut oleh banyak pakar sebagai “demokrasi cacat” Indonesia saat ini. Demokrasi konstitusional Indonesia seperti yang tersurat dan tersirat pada sila ke 4 pada prinsipnya tidak relevan dengan sistem presidensialisme yang dijadikan logika hukum hakim MK. Artinya, PT 20 persen menjadikan mekanisme check and ballance yang merupakan indikator atau syarat demokrasi yang sehat, tidak terwujud secara seimbang. Karena yang terjadi adalah mekanisme politik kekuasan koalisional yang cenderung transaksional. Secara common sense, dalam Praktek transaksi politik, tentu selalu akan melibatkan pasar atau pemodal yang kita sebut sebagai oligarki politik.
Demokrasi yang dibangun dengan mekanisme politik koalisional secara nyata telah menimbulkan ketimpangan yang serius bagi demokrasi presidensial. Masuknya ketua umum partai politik dalam kabinet pemerintah telah mengakibatkan kinerja anggota partai politik yang dipercayakan rakyat di lembaga legislatif (DPR) kehilangan kemerdekaan politiknya. Dampaknya adalah, Fungsi legislasi, pengawasan dan Anggaran anggota parlemen terbukti telah tersandera oleh kepentingan politik pemerintah atau lembaga eksekutif. Sehingga, apa yang disebut efesiensi proses politik di lembaga parlemen oleh MK merupakan upaya menjebak sistem demokrasi Indonesia dalam lingkaran hitam politik koalisional yang transaksional. Inefisiensi lembaga legislatif akibat PT 20 persen terbukti dari produk UU yang selalu menuai aksi penolakan dan gugatan dari civil society dan mahasiswa selama ini.
Dengan argumentasi hakim MK yang yang demikian sempit terkait ketentuan pasal 222 UU 07 tahun 2017 tersebut, kami berkesimpulan bahwa kaidah hukum open legal policy yang dijadikan jurus andalan MK kepada setiap penggugat selama ini adalah cacat secara konstitusional. Konstitusi sepenuhnya memberikan hak politik yang sama kepada setiap warga negara. MK seolah mengabaikan realitas potensi demografi Indonesia yang demikian besar ini, dengan hanya diatur oleh para elit politik. Kami sebagai lembaga perwakilan daerah yang juga secara langsung dipilih oleh rakyat tentu keberatan dengan pakem open legal policy tersebut.
DPD RI sangat menghormati keberadaan partai politik dan posisi DPR RI sebagai lembaga politik yang diberikan kewenangan lebih dalam proses legislasi. Sama seperti DPD menghormati keberadaan konstitusi UUD 1945. Apa yang kami gugat merupakan murni sebagai upaya menyampaikan aspirasi masyarakat daerah dan civil society lainnya. Dengan logika hukum open legal policy, MK seolah menegaskan bahwa hanya sembilan hakim MK plus sembilan ketua partai politik di DPR yang berhak sepenuhnya atas aturan main Pemilu di negara demokrasi konstitusional ini. Hanya MK dan ketua umum partai politik yang berhak secara terbatas menawarkan siapa calon pemimpin bangsa ini ke satu periode ke depan. Artinya, nasib dan masa depan demokrasi dan kehidupan sosial bangsa Indonesia yang berjumlah 270 juta jiwa ini sangat bergantung pada sikap politik 9 hakim MK dan 9 ketua Partai politik tersebut. Tentunya hal ini sangat ironis bagi negara bangsa yang pernah terjebak dalam labirin otoritarianisme di masa lalu ini.
Pada prinsipnya, DPD RI tidak ingin landscape demokrasi Indonesia hanya diatur oleh hegemoni kekuatan politik atau partai politik tertentu. Upaya memaksakan ketentuan PT 20 ke dalam sistem Pemilu 2024 sangat mengganggu nalar politik publik. Di mana tiket PT 20 persen justru diambil dari hasil pemilu legislatif pemilu 2019. Ibaratnya, kita menggunakan tiket pesawat yang pernah terpakai pada penerbangan sebelumnya, untuk boarding pada penerbangan kali ini. Tentunya aturan seperti ini sangat tidak adil dan tidak relevan dengan nilai-nilai demokrasi. Sementara di saat yang sama, hasil pemilu selalu menyisakan rendemen golput yang sangat signifikan. Terdapat 22,5 persen masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2019. Angka ini tidak hanya menunjukkan partisipasi masyarakat dalam pemilu yang rentan, tapi juga menunjukkan bahwa terdapat kelompok politik rakyat yang tidak terwakili dalam parlemen sebesar batas minimal PT 20 persen.
DPD RI secara kelembagaan mengajak Semua pihak terkait untuk sama-sama menjaga stabilitas politik dan nilai-nilai dasar demokrasi dalam setiap kontestasi politik. Pemilu langsung yang dilakukan secara serentak selalu memberikan risiko sosial politik yang tidak kecil. Demikian pula dengan tingkat partisipasi masyarakatnya. Kami tidak ingin sistem politik yang tidak relevan dengan nilai-nilai demokrasi Pancasila ini menjadi dosa sejarah yang akan kita wariskan kepada anak cucu kita di masa depan. Mari kita bangun peradaban politik yang demokratis dan menyejahterakan sebagai legacy politik generasi saat ini. DPD mempersilahkan lembaga politik seperti partai politik untuk berkontestasi secara fair, tapi tidak dengan aturan main yang dipaksakan seperti pada UU 07 tahun 2017 yang ada saat ini.
Be First to Comment