Press "Enter" to skip to content

Polemik RPMK Atur Kemasan Rokok Polos dan Seragam, DPR Minta Jangan Kedepankan Ego Sektoral

Social Media Share

JAKARTA, NP- Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya meminta pemerintah mengendepankan kepentingan orang banyak dibanding kepentingan kelompok atau individu dalam merumuskan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang saat ini menimbulkan polemik.

Draf yang dirancang Kementerian Kesehatan itu merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 atau PP Kesehatan. Sedangkan PP Nomor 28 Tahun 2024 merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

“Jadi undang-undang, peraturan dibuat bukan hanya mengedepankan satu kepentingan semata-mata bahkan dalam teori membuat undang-undang itu ada kepentingan yang lebih besar yang harus dirujuk. Itu yang paling penting,” ucap Willy Aditya dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema ‘Serap Aspirasi Mata Rantai Industri Hasil Tembakau’ Ruang PPIP Gedung Nusantara I Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/11/2024).

Untuk diketahui, RPMK mendapat penolakan dari masyarakat industri rokok antara lain petani tembakau, petani cengkeh, pedagang retail, karyawan industri rokok, dan pekerja lain yang berkaitan dengan industri rokok seperti pekerja iklan, pekerja kreatif dan pihak lainnya yang akan benar-benar terkena imbas negatif yang luar biasa dari RPMK ini.

Sejumlah klausul PP 28/2024 dan RPMK yang ditolak antara lain karena melarang penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, RPMK juga akan mengatur soal desain kemasan agar polos dan seragam yang dinilai akan mematikan industri kecil menengah.

Untuk itu Willy menekankan kepada semua pihak agar mengenyampingkan ego sektoralnya.

“Jangan kemudian ego sektoral untuk hanya kemudian berpihak kepada satu sisi. Tidak!” pesan pimpinan Komisi DPR RI RI baru dalam alat kelengkapan dewan (AKD) DPR RI yang bertugas menangani isu-isu krusial seperti Hak Asasi Manusia (HAM), Keimigrasian, Pemasyarakatan, dan Penanggulangan Terorisme ini.

Berkaitan dengan industri rokok yang banyak terkena imbas apabila Rancangan Permenkas (RPMK) tersebut diberlakukan, politisi dari Partai NasDem ini mengingatkan agar RPMK dibuat jangan justru mematikan perekonomian orang banyak yang terlibat dari industri rokok.

Apalagi, situasi industrilisasi di tanah air makin lesu bahkan banyak perusahaan yang tutup karena tidak mampu bertahan yang berakibat meningkatnya angka pengangguran. Belum lagi, kebijakan moratorium pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) yang makin membuat pengangguran di negeri ini semakin banyak.

Oleh karena itu, ia mengingatkan agar industri rokok yang menjadi unggulan pemerintah dalam mendulang devisa dan cukai rokok yang menjadi sumber pendapatan utama APBN tidak tergerus oleh RPMK ini.

Willy menegaskan dibutuhkan keberpihakan dari pemerintahan, terutama Kementerian Kesehatan yang menjadi leading sector dalam merumuskan RPMK ini. “Ini keberpihakan! Itu penting di mana kita meletakkan basis-basis keunggulan kompetitif,” tegas Willy.

Di tempat sama, Anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi mengungkapkan saat rapat perkenalan Anggota DPR baru periode 2024-2029 pekan lalu, ia mempertanyakan kembali perkembangan dari pembahasan RPMK di internal pemerintah.

“Saya sebagai Menteri Kesehatan karena saya membidangi kesehatan, ya.. saya tetap lurus bagaimana menjadikan masyarakat Indonesia ini makin sehat. Namun ketika ada pertimbangan-pertimbangan lain yang ketika RPM ini nanti terbit akan membuat dampak negatif dari sisi ekonomi terutama maka jawaban beliau RPMK ini masih dipending,” ucap Nurhadi menirukan jawaban Menkes terkait perkembangan pembahasan RPMK.

Senada dengan pandangan Willy Aditya, Nurhadi mengatakan kepada Menkes Budi Gunadi Sadikin di dalam raker tersebut dengan menenakan agar Menkes benar-benar mengakomodir aspirasi dari berbagai pihak masyarakat yang terlibat dalam industri rokok seperti petani tembakau, petani cengkeh, pedagang retail, karyawan industri rokok dan lain yang akan benar-benar terkena imbas negatif yang luar biasa dari RPMK ini.

Pemerintah Masih Beda Sikap

Dalam diskusi tersebut juga terungkap belum adanya kata sepakat atas rumusan RPMK terkait tembakau. Hal itu itu dapat disimak dari pandangan Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker).

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker, Indah Anggoro Putri secara terus terang meminta Kementerian Kesehatan untuk mengkaji RPMK yang akan berimbas pada banyak matinya perusahaan rokok dan pemutusan hubungan kerja (PHK) orang-orang yang terlibat dalam industri rokok yang jumlahnya mencapai 5,9 juta jiwa.

“Bapak Ibu ini perlu dikaji. Cuma intinya kalau PP 28/2024 dan turunannya ini terlalu kencang dibuatnya. (Apabila) sesuai dengan pemikiran dari teman-teman Kementerian Kesehatan, mohon maaf, ini akan berkontribusi pada penambahan kurang lebih 2,2 juta orang ter-PHK,” tegas Indah seranya menambahkan jumlah itu belum termasuk 725 orang yang bekerja di industri kreatif yang mensupport industri rokok.

Indah mengingatkan akan ada dampak besar jika RPMK yang dibuat tidak memperhatikan sektor lain terutama dari sisi sosial ekonomi.

Ia menjelaskan dari kajian internal di Kemnaker, apabila terjadi PHK terhadap satu orang pekerja, maka akan ada multiplier efek yang dampaknya berimbas pada empat pihak.

Misalnya, sambung dia, apabila satu orang si A ter-PHK kalau dia biasa langganan naik ojek online maka akan pengojek online akan kehilangan satu langganannya. Juga pemilik warung makan yang lokasinya berdekatan dengan pabrik rokok. Kemudian warung kopi yang akan kehilangan langganan lagi.

“Paling nggak empat orang terdampak ekonominya. Multiplayer efeknya sangat luar biasa secara ekonomi akan jadi negatif. Jadi minta tolong ini diperhatikan,” pinta Indah.

Dampak lain yang juga akan terjadi adalah dari 725 ribu karyawan di industri kreatif yang mensupport industri rokok itu kebanyak adalah anak-anak muda yang apabila di PHK maka dikhawatirkan akan melakukan hal atau pekerjaan negatif demi memenuhi tuntutan dan kebutuhan hidupnya.

Mereka ini anak-anak kreatif dan kita juga lagi menghadapi isu judol (judi online) yang secara ekstrem, juga juga masalah narkoba yang saat ini kita masih challenge. Kita butuh treatment luar biasa kepada anak-anak muda yang kreatif yang selama ini tersalurkan kreativitasnya yang mendukung industri rokok.

“Sementara terus terang kita belum ada program yang siap yang langsung taking care atau peduli pada anak-anak di industri kreatif ini. Jadi artinya dampak negatifnya besar,” tegas Indah.

Menanggapi banyaknya penolakan dari berbagai pihak mengenai RPMK tersebut, Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Hukum Sundoyo, berkomitmen akan melibatkan Kementerian/Lembaga terkait dan pemangku kepentingan di industri tembakau.

“Saat penyusunan peraturan pemerintah ini sudah dilakukan serap aspirasi. Masukan saat kami melakukan serap aspirasi itu beragam dan ada yang pertimbangkan,” ujarnya.

Sundoyo menyatakan bahwa Kemenkes melihat ada dua kepentingan yang harus jadi titik temu, yaitu, pertama, dari sisi ekonomi, dan kedua, dari sisi kesehatan.

Ia menyambut baik berbagai upaya mencati titik temu baik menggelar diskusi, forum atau metode lain untuk mencati kesepakatan bersama.
Satu hal yang penting, menurutnya adalah bagaimana kebijakan ke depan ini harus dilakukan diskusi bersama agar tidak terjadi tumpang tindih.
“PP 28/2024 harus jadi win-win antara ekonomi dan kesehatan. Jika teman-teman ingin memberikan masukan terkait regulasi itu bisa melalui situs Kemenkes, yang dipersilakan khusus untuk bisa menyuarakan aspirasinya di situ,” sebut Sundoyo.

Ketua DPC Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Bondowoso, Muhammad Yasid, pada kesempatan tersebut justru menyoroti proses penyusunan PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes yang dinilai diskriminatif dan tidak transparan.

“Ratusan masukan telah disampaikan pada situs partisipasi sehat, namun hingga kini tidak ada tindak lanjut dari Kemenkes. Petani juga tidak pernah diundang pada sesi public hearing yang disebutkan Kemenkes tadi telah terlaksana pada September yang lalu,” ujar Yasid.

Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Sarmidi Husna, menjelaskan bahwa pesantren juga seharusnya dilibatkan dalam proses perumusan Rancangan Permenkes karena banyak wali santri yang bekerja di bidang tembakau. Sehingga, P3M mempunyai tugas untuk melakukan advokasi kepada setiap wali santri yang terlibat langsung dalam industri tembakau.

Bila dilihat dari sisi agama, Sarmidi menyampaikan bahwa rokok jelas tidak diharamkan, berbeda dengan khamr (minuman keras) yang jelas haram. Menurutnya, permasalahan ini menjadi pekerjaan rumah besar dan pemerintah seharusnya mengkaji lebih dalam dahulu soal kebijakan tersebut.(har)

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *