Press "Enter" to skip to content

Penanganan Penyakit oleh Spesialis Bedah Saraf di Indonesia Sudah Capai Kondisi Ideal

Social Media Share

Wakil Menteri Kesehatan RI, Prof. dr. Dante Saksono Harbuwono (kanan), Ketua umum PERSPEBSI, Prof. Joni Wahyuhadi (ke-2 dari kanan), Ketua PERSPEBSI cabang prov. Banten, Prof. Satyanegara (ke-2 dari kiri) pada PIT ke-28 dan Asian-Oceanian International Congress on Skull Base Surgery ke-16 di ICE BSD.(Ist)

 

JAKARTA, NP – Perhimpunan Spesialis Bedah Saraf Indonesia (PERSPEBSI) mengungkapkan jumlah ahli bedah saraf di Indonesia sudah mencapai kondisi ideal, lebih dari 500 orang terpencar di berbagai daerah di seluruh Indonesia, termasuk di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) dengan 1-2 ahli untuk menangani penyakit dan gangguan yang melibatkan sistem saraf.

“Masalahnya (layanan untuk bedah saraf), ada kasus yang sulit ditangani. Sehingga ahli bedah saraf harus mengikuti kemajuan ilmu di seluruh bidang (spesialisasi) bedah saraf. Berbagai spesialisasinya, antara lain bagian pembuluh darah, tumor, sumsum tulang belakang, Parkinson, dan lain sebagainya,” Ketua PERSPEBSI cabang prov. Banten, Prof. Satyanegara mengatakan kepada Redaksi.

PERSPEBSI baru selesai gelar Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) ke-28 dan Asian-Oceanian International Congress on Skull Base Surgery ke-16 di ICE BSD beberapa hari yang lalu, sekaligus acara yang sangat dinanti dalam kalender medis regional. Kedua acara ini menyatukan para profesional, ahli bedah saraf, dan peneliti terkemuka. Sebagai platform dalam bidangnya, Pertemuan ilmiah tahunan PERSPEBSI telah menjadi ajang yang sangat dihormati bagi para praktisi medis dan peneliti untuk berbagi pengetahuan terbaru, teknik bedah inovatif, dan temuan penelitian terbaru dalam ilmu bedah saraf.

“Prof. Joni Wahyuhadi sebagai ketua umum PERSPEBSI menyimpulkan kondisi ideal bedah saraf di Indonesia, terutama jumlah tenaganya. Tapi jumlah dokter muda yang masuk (profesi ahli bedah saraf) harus bisa mengimbangi jumlah dokter (ahli bedah saraf) yang sudah tua. Kalua ada empat orang yang pensiun setiap tahunnya, idealnya 8-10 dokter muda baru untuk menggantikan,” kata Prof. Satyanegara.

Ketua PERSPEBSI cabang prov. Banten, Prof. Satyanegara pada PIT ke-28 dan Asian-Oceanian International Congress on Skull Base Surgery ke-16 di ICE BSD.(Ist)

Asian Oceanian International Congress Skull Base Surgery ke-16 menyediakan forum yang sangat penting bagi para profesional di wilayah Asia-Oceanian untuk memperdalam pemahaman para peserta. Melalui sesi-sesi ilmiah, lokakarya, dan diskusi panel yang beragam, acara ini bertujuan untuk mendorong kolaborasi lintas disiplin, memperkuat jaringan profesional, dan meningkatkan standar praktik klinis dalam penanganan kasus-kasus bedah saraf yang kompleks. Dengan tema-tema yang relevan dan aktual, PIT PERSPEBSI ke-28 dan Asian-Oceanian International Congress on Skull Base Surgery ke-16 diyakini memberikan kontribusi besar dalam kemajuan ilmu bedah saraf serta perbaikan hasil klinis bagi pasien-pasien di wilayah Indonesia khususnya dan di seluruh dunia pada umumnya.

“Keseluruhan ada 8-9 sub spesialisasi penanganan penyakit yang melibatkan sistem saraf, bahkan ada spesialis untuk tangani anak-anak. Semakin lama, ahli bedah saraf semakin focus, spesialis pada satu profesi sebagai konsultan,” kata Prof. Satyanegara.

terkait jumlah kasus bedah saraf menurut daerahnya di seluruh Indonesia, ternyata jenis stroke yang paling banyak dan butuh penanganan. Kondisi ini juga sudah paralel dengan jumlah ahli bedah saraf di Indonesia, sebagaimana target yang dicanangkan PERSPEBSI dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia. Selain, target untuk pembangunan PPDS (program pendidikan dokter spesialis) juga terus dikejar. Dulunya, PPDS hanya ada di tiga kota besar, yakni Jakarta, Bandung, Surabaya. Tetapi sekarang, PPDS sudah ada di Medan, Makassar, Bali. Setiap tahun kegiatannya juga meningkat di berbagai fakultas kedokteran, yakni sekitar 30 orang diterima masuk PPDS.

“Semakin lama, (ilmu bedah saraf) semakin maju. Yang menjadi fokus, perlu peningkatan keterampilan/keahlian dokter. kedua, alat-alat kesehatan (alkes) semakin high-tech, tetapi kalau di satu daerah, jumlah penduduknya tidak banyak, perlu pertimbangan MRI ( magnetic resonance imaging, untuk pemeriksaan orang tubuh, dgn menggunakan teknologi magnet dan gelombang radio). Kemampuan masing-masing daerah juga berbeda,” tutup Prof. Satyanegara.(Liu)

 

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *