JAKARTA, NP – Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi risiko tinggi terhadap bencana alam, bencana non-alam, bencana sosial, dan bencana kegagalan teknologi. Data BNPB menunjukkan bahwa pada tahun 2020 telah terjadi 4.650 kejadian bencana alam yang didominasi oleh bencana alam hidro-meteorologi. Untuk mengurangi kerentanan dan potensi risiko ini perlu dilakukan berbagai upaya peningkatan kapasitas melalui program-program penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (litbangjirap) pada bidang kebencanaan.
“Dalam PRN (Prioritas Riset Nasional), kita mengenal program InaTEWS 2020-2024 yang terdapat roadmap riset-riset kajian risiko bencana. Ini menjadi titik awal berbagai pengembangan teknologi kebencanaan ke depan, pengembangan teknologi khususnya mitigasi bencana alam tanpa pemahaman atas bencana itu sendiri bisa berpotensi menimbulkan masalah dan menjadi salah fokus,” jelas Kepala BRIN dalam Webinar Kebijakan dan Strategi Riset, serta Inovasi Teknologi Kebencanaan, Kamis (19/08).
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko melanjutkan kajian risiko kebencanaan menjadi hal yang sangat krusial sebagai pemetaan untuk dapat diprioritaskan dalam pencegahan dan penanganan, mengingat luasnya wilayah Indonesia. Maka diperlukan upaya bersama untuk mengembangkan teknologi multifungsi yang dapat mengeksplorasi potensi bisnis kolaborasi, sehingga mendapatkan dukungan multi pihak menjadi sangat penting.
“Kita juga harus memperhatikan global engagement, bagaimana kita melakukan kolaborasi bersama mitra global khususnya negara-negara tetangga kita untuk mendapatkan data dan pemahaman yang lebih baik, sebab bencana tidak ada batas negara,” ujar Handoko.
Kepala BPPT Hammam Riza mengatakan BPPT tidak pernah lelah untuk berinovasi dan mengawal penerapan teknologi kebencanaan di tanah air, salah satunya dengan menggiatkan ekosistem inovasi di bidang ini bersama dengan stakeholders lainnya. Selama 43 tahun Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) terus berinovasi di bidang riset dan teknologi kebencanaan.
“Kerugian dari bencana dapat diminimalisir dengan membuat permodelan berdasarkan data lokasi dan time series yang diperoleh, sehingga dapat kita olah menggunakan bantuan teknologi kecerdasan artifisial, itu semua telah diterapkan BPPT melalui PEKA API dan PEKA Tsunami,” terang Kepala BPPT.
Hammam berujar peningkatan frekuensi bencana di Indonesia mengakibatkan kerugian berupa perlambatan ekonomi, sedangkan pemerintah di masa pandemi ini memiliki program besar untuk melakukan pemulihan ekonomi di semua sektor. Oleh karenanya kita bersama harus berusaha untuk memprediksi bencana bahkan meminimalisir dampaknya.
Turut hadir sebagai pembicara Deputi Bidang Kemaritiman dan SDA BAPPENAS Arifin Rudiyanto, Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB Raditya Jati, Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto, dan sebagai penanggap Ardito M Kodijat dari UNESCO, Mega F. Rosana dari UNPAD, Jan Sopaheluwakan dari ICAIR LIPI, serta dihadiri Deputi Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT Yudi Anantasena.(RLS)
Be First to Comment