Oleh: Omar Sugiharto
Magister Rekayasa Pertahanan Siber, UNHAN RI
Ledakan di masjid SMAN 72 Kelapa Gading bukan sekadar tragedi fisik. Itu adalah tanda bahwa ancaman baru bisa lahir dari tempat paling tak terduga: dari siswa yang terluka oleh perundungan, terinspirasi oleh ideologi ekstrem yang mudah diakses di internet. Puluhan pelajar terluka, dan kita semua tersadar: sekolah, yang seharusnya menjadi tempat aman, kini bisa menjadi laboratorium kemarahan dan kekerasan.
Kasus ini mengajarkan tiga hal penting. Pertama, motivasi bisa hibrid: dendam pribadi bertemu simbol ekstrem asing. Kedua, internet mempercepat bahaya: frustrasi dan ideologi bersatu, menghasilkan aksi nyata. Ketiga, ancaman datang dari dalam komunitas sendiri; keamanan fisik saja tak cukup tanpa memahami perilaku sosial dan digital siswa.
Kebijakan reaktif—CCTV, pengamanan ekstra—hanya menambal celah, bukan menutupnya. Yang dibutuhkan adalah pencegahan: deteksi perilaku ekstrem, literasi digital, saluran pelaporan aman, dan rehabilitasi yang seimbang bagi pelaku anak. Akar masalah sesungguhnya adalah perundungan dan keterasingan sosial, bukan semata radikalisasi.
Lebih dari itu, budaya “harga diri” dan persaingan status semu harus ditinjau ulang. Dalam dunia di mana narasi kebencian dapat diakses dalam hitungan detik, ketahanan sosial berarti mengendalikan informasi sebelum informasi mengendalikan kita. Sekolah bukan hanya tempat belajar; ia adalah garis depan pertahanan kita dari ancaman yang makin tersembunyi.***







Be First to Comment