Oleh Danang R, H.A
Kepala Program Studi Rekayasa Pertahanan Siber FTTP, Universitas Pertahanan RI.
Abad ke-21 menghadirkan perang yang berbeda. Kini, medan tempur tidak selalu berupa batas negara atau instalasi militer. Medannya bisa berada di layar ponsel kita. Namanya cognitive warfare—perang yang menargetkan pikiran dan persepsi publik.
Cognitive warfare tidak menembakkan peluru, tetapi menembus ruang mental dan emosi. Tujuannya sederhana namun berbahaya: memengaruhi opini, memecah solidaritas, dan mengubah keputusan publik melalui manipulasi informasi. Medannya? Media sosial, algoritma rekomendasi, dan ruang percakapan digital yang kadang tak terkontrol.
Perang Tanpa Suara, Dampak Nyata
Serangan kognitif memanfaatkan tiga hal: data, algoritma, dan psikologi massa. Disinformasi, deepfake, micro-targeting, dan isu sensitif yang sengaja dibesar-besarkan menjadi senjata untuk menimbulkan kebingungan dan polarisasi sosial. Ketika masyarakat terbelah, ketahanan nasional melemah.
Yang memperparah, manusia kini lebih cepat bereaksi terhadap emosi daripada fakta. Di sinilah kekuatan perang kognitif bekerja—menggantikan kebenaran dengan narasi yang paling viral, bukan yang paling valid.
Ketahanan Siber: Lebih dari Sekadar Teknologi
Ketahanan siber bukan hanya soal melindungi jaringan dan data. Ini soal membangun kesadaran publik dan menjaga integritas informasi. Sistem keamanan canggih tanpa masyarakat yang sadar hanya menjadi benteng kosong.
Ketahanan siber yang efektif berarti kemampuan nasional untuk:
- Mendeteksi dan menetralisir disinformasi sebelum menyebar luas.
- Menumbuhkan literasi digital dan ketahanan psikologis masyarakat.
- Menjamin integritas informasi melalui tata kelola data yang transparan dan kredibel.
Dengan pendekatan ini, setiap pengguna internet menjadi prajurit digital, dengan kesadaran sebagai lapis pertahanan pertama, teknologi sebagai lapis kedua, dan kebijakan nasional sebagai lapis ketiga.
Kolaborasi dan Kepemimpinan Strategis
Ancaman multidimensi menuntut sinergi antarlembaga—antara Kementerian Pertahanan, BSSN, Kominfo, BIN, dan lainnya. Tantangannya bukan hanya teknologi, tapi koordinasi dan kepemimpinan. Tanpa unity of command, penanganan serangan informasi mudah gagal.
Di sini, pemimpin strategis di dunia siber ibarat “admin” nasional. Tugasnya bukan sekadar menjaga server tetap hidup, tetapi memastikan semua kanal komunikasi aman, jujur, dan terarah.
Strategi Nasional: Teknologi, Institusi, dan Manusia
Strategi menghadapi cognitive warfare harus berlapis:
- Teknologi: AI-driven threat detection dan behavioral analytics untuk mengidentifikasi pola serangan psikologis.
- Institusi: Pusat koordinasi lintas kementerian, semacam “cyber command center” bagi narasi nasional.
- Sosial & Pendidikan: Pendidikan bela negara digital di sekolah dan kampus, agar masyarakat paham bahwa menjaga ruang informasi sama pentingnya dengan menjaga batas teritorial.
Dengan tiga lapisan ini, ketahanan siber bukan sekadar teknis, tapi gerakan nasional kesadaran informasi.
Menjaga Pikiran, Menjaga Bangsa
Cognitive warfare mengubah batas pertahanan dari garis geografis menjadi ruang mental. Ketahanan siber adalah perisai baru bangsa, dan setiap pengguna internet adalah prajuritnya. Perang masa depan bukan hanya soal senjata, tetapi tentang kejernihan berpikir dan keutuhan kesadaran nasional.***







Be First to Comment