JAKARTA, NP- Melalui Forum Aspirasi Konstitusi, MPR RI siap menyerap aspirasi dari berbagai kelompok masyarakat terkait wacana apapun seputar konstitusi. Termasuk wacana menghidupkan kembali utusan golongan dalam keanggotaan MPR RI.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengaku wacana serupa pernah diajukan sejumlah organisasi masyarakat (ormas) keagamaan antara lain oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, serta Majelis Tinggi Agama Konghucu (MATAKIN), dan berbagai kelompok masyarakat lainnya.
Penyerapan aspirasi tersebut merupakan bagian dari tugas dan fungsi MPR RI sebagai ‘rumah kebangsaan’ sekaligus ‘penjelmaan rakyat’ yang harus mampu mewadahi berbagai arus pemikiran, maupun dalam konteks menyikapi dinamika pemikiran kebangsaan sebagai bagian dari proses pendewasaan dan pematangan kehidupan demokrasi.
“Dalam konteks keIndonesiaan, praktik kehidupan demokrasi dijiwai oleh sila keempat Pancasila yang mengamanatkan penegakan kedaulatan rakyat, serta melembagakannya dalam mekanisme permusyawaratan/perwakilan. Mengejawantahkan kedaulatan rakyat dalam lembaga perwakilan, idealnya dapat dimanifestasikan melalui beberapa jalur representasi,” kata Bamsoet dalam Diskusi Urgensi Utusan Golongan di MPR RI, diselenggarakan Institut Ekonomi Politik Soekarno-Hatta, di Jakarta, Kamis (27/10/2022).
Kata Bamsoet, saat ini representasi politik yang sudah terwadahi ada di DPR RI, representasi kedaerahan yang sudah terwadahi dalam DPD RI, serta representasi golongan/kelompok fungsional yang bisa terwadahi dalam utusan golongan.
Turut hadir antara lain, Ketua Forum Aspirasi Konstitusi MPR RI sekaligus Anggota MPR RI/DPD RI dan Pakar Hukum Tata Negara Prof. Jimly Asshiddiqie, Direktur Eksekutif Nusantara Center Prof. D.r M. Yudhie Haryono, Dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia Dr. Mulyadi, serta Direktur Institut Ekonomi Politik Soekarno-Hatta M. Hatta Taliwang.
Hadir pula para peserta diskusi, antara lain Ichsanuddin Noorsy, Marwan Batubara, Prof. Ahmad Mubarok, Sayuti Asyathri, Ahmad Yani, Prihandoyo. Serta para raja kesultanan Nusantara, antara lain Raja IX Puri Agung Denpasar Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan, dan Raja Keraton Sumedang Larang Sri Radya HRI Lukman Soemadisoeria.
Bamsoet menambahkan, sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, MPR terdiri terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan daerah dan golongan. Pasca perubahan Konstitusi, sesuai ketentuan pasal 2 ayat (1), MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum.
Perubahan tersebut berdampak pada hilangnya unsur utusan golongan. Tidak heran jika kini ada yang menilai bahwa gambaran ideal mengenai demokrasi partisipatoris yang melingkupi semua kelompok kepentingan belum sepenuhnya terpenuhi.
“Pembentukan utusan golongan dalam lembaga perwakilan, sejatinya adalah amanat yang telah diwariskan sejak cita-cita awal kemerdekaan. Kehadiran utusan golongan secara prinsipil mengakomodir karakteristik rakyat Indonesia yang sangat plural dan heterogen dalam segenap aspeknya,” ujarnya.
Dalam konteks kekinian, keberadaan utusan golongan dapat dipandang sebagai bagian dari ikhtiar untuk memenuhi keadilan peran politik secara menyeluruh, sekaligus dapat menjadi penyeimbang peran dari keterwakilan politik yang dipegang DPR dan keterwakilan daerah yang berada di tangan DPD.
Ia menjelaskan ada tiga hal yang menjadi latar belakang penghapusan utusan golongan pasca reformasi. Pertama, adanya pandangan bahwa pelaksanaan demokrasi langsung yang dimanifestasikan oleh pemilihan secara langsung dianggap lebih demokratis, sehingga keberadaan utusan golongan melalui penunjukan dianggap tidak sesuai.
Kedua, adanya pandangan perlunya penyederhanaan sistem perwakilan, di mana hanya ada satu badan perwakilan tingkat pusat yang mewakili dua unsur representasi, yaitu representasi politik (DPR) dan representasi daerah (DPD), sedangkan representasi golongan dapat diwakili dan disalurkan melalui lembaga perwakilan yang sudah ada, khususnya DPD.
Ketiga, dalam praktiknya, penunjukan utusan golongan oleh presiden dinilai cenderung mewakili kepentingan rezim pemerintahan yang mengangkatnya, dan bukan kepentingan rakyat atau golongan yang diwakilinya.
“Karena itu, gagasan menghadirkan kembali kedudukan utusan golongan di MPR harus mampu menjawab, mengoreksi, dan menjadi antitesis dari berbagai faktor yang melatarbelakangi dihapuskannya keberadaan utusan golongan dalam keanggotaan MPR tersebut,” tegas Bamsoet.(dito)
Be First to Comment