dr. Eni Gustina.(Foto: ist)
JAKARTA, NP – Krisis COVID-19 diperkirakan akan mengakibatkan dampak yang tidak proporsional terhadap kelompok-kelompok rentan dan komunitas-komunitas terpinggirkan. Perempuan, yang menjadi mayoritas di antara tenaga kesehatan garda depan (70% secara global), misalnya, secara tidak proporsional terekspos terhadap virus Corona.
Pandemi Covid-19 semakin memperburuk kesenjangan-kesenjangan sosial yang ada, termasuk ketidaksetaraan gender. Dengan meningkatnya kerentanan perempuan dan anak perempuan akan kekerasan berbasis gender serta eksploitasi dan penganiayaan seksual, peningkatan kasus-kasus kekerasan ini sudah tercatat di berbagai tempat.
“Perempuan dan anak perempuan, terutama yang sedang hamil, akan segera melahirkan, dan menyusui adalah bagian dari kelompok-kelompok yang rentan selama pandemi COVID-19. Sering kali mereka tidak bisa mengambil keputusan sendiri untuk mendapatkan layanan-layanan layanan kesehatan ibu dan keluarga berencana,“ ucap dr. Eni Gustina, Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN, dalam pembukaan webinar Hari Kependudukan Sedunia (World Population Day – WPD) yang diadakan BKKBN dan UNFPA Indonesia, Selasa, (25 /8/2020), petang.
Persediaan dan layanan kespro itu penting dan bisa menyelamatkan nyawa. Namun, ketika sistem kesehatan di seluruh dunia berjibaku dengan Covid-19, layanan kespro cenderung terabaikan. Selama pandemi, rantai pasokan juga terganggu sehingga berdampak pada ketersediaan alat kontrasepsi dan perlengkapan esensial lainnya, termasuk alat pelindung diri (APD). Gangguan terhadap persediaan alat kontrasepsi dan layanan-layanan KB ini meningkatkan risiko kehamilan tidak direncanakan (KTD).
Sebuah studi yang baru-baru ini dilakukan oleh Kantor Pusat Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations Population Fund – UNFPA) yang berkolaborasi dengan Avenir Health, John Hopkins University (USA), dan Victoria University (Australia) memperkirakan bahwa apabila lockdown atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berlangsung lebih dari 6 bulan, 47 juta perempuan di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah kemungkinan tidak bisa mengakses alat kontrasepsi modern. Akibatnya, 7 juta KTD dan 31 juta kasus kekerasan berbasis gender juga diperkirakan bisa terjadi.
Gangguan pada program-program UNFPA di seluruh dunia yang bertujuan untuk menghentikan praktik-praktik berbahaya terhadap perempuan juga bisa mengakibatkan terjadinya 2 juta kasus pemotongan dan perlukaan genital perempuan (P2GP) atau female genital mutilation/cutting (FGM/C), dan 13 juta perkawinan anak antara tahun 2020-2030, yang seharusnya bisa dihindari.
Oleh karena itu, prioritas UNFPA saat ini adalah memastikan akses terhadap layanan kespro dan melindungi tenaga kesehatan, memastikan bahwa alat kontrasepsi modern dan komoditas kespro lainnya tersedia bagi yang membutuhkan, dan mengatasi kekerasan berbasis gender.
Organisasi dan pemuka agama berperan penting dalam membantu kelompok-kelompok rentan seperti perempuan dan anak perempuan untuk memperoleh hak mereka mendapatkan layanan kespro dan bebas dari kekerasan berbasis gender di masa pandemi ini. Dengan pengaruh dan jaringan pendukung kuat, tokoh-tokoh agama diharapkan bisa menyampaikan pesan-pesan positif dalam menghadapi pandemi dan mengajak masyarakat untuk lebih peduli dan berempati terhadap kondisi dan kebutuhan perempuan dan anak perempuan.
“Di masa-masa sulit ini banyak orang mencari kedamaian dan petunjuk dari agama. Suara para pemuka agama adalah suara yang memberikan harapan dan kebijaksanaan. Semoga lewat diskusi kita hari ini kita bisa mengembangkan rencana yang konkrit untuk bekerja sama melindungi hak-hak perempuan dan anak perempuan,” ungkap Anjali Sen, Kepala Perwakilan UNFPA Indonesia dalam pembukaan webinar (25/08).
Webinar ini menghadirkan Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN dr. Eni Gustina, Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan dr. Erna Mulati, Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Dr. Indra Gunawan, Dr. Nur Rofiah dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), dan Programme Specialist – Reproductive Health UNFPA Indonesia sebagai pembicara. Diskusi dipandu oleh penulis dan aktivis perempuan Kalis Mardiasih sebagai moderator. (rls)
Be First to Comment