Press "Enter" to skip to content

BKKBN: Data Kependudukan Untuk Lingkungan Hidup Berkelanjutan

Social Media Share

Ir. Mila Rahmawati, MS.(Foto:red)

JAKARTA, NP – Data tentang kependudukan sangat diperlukan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan.Hal itu dikatakan Direktur Pemaduan Kebijakan Pengendalian penduduk BKKBN, Ir. Mila Rahmawati, MS dalam Webinar Series 4 Mewujudkan Indonesia Emas Tahun 2045 Melalui Pembangunan Berwawasan Lingkungan, dengan tema “Bumi dan Manusia: Sejahtera Jika Berencana Bersama”, di Jakarta, Selasa (13/10/2020).

Mila menambahkan, data kependudukan di  antaranya juga untuk menghitung hidup penduduk di bidang penyediaan pangan, perumahan, sandang, pelayanan pendidikan dan kesehatan serta fasilitas lainnya.

“Data tersebut di antaranya adalah pertumbuhan penduduk, komposisi penduduk (umur dan jenis kelamin), dependency ratio (rasio beban tanggungan), umur harapan hidup, tingkat kematian bayi dan anak,”terang Mila.

Dipacu

Pertambahan penduduk dipacu oleh  laju pertumbuhan yang mencapai  1,49 %.  Hasil Sensus Penduduk 2010 juga menunjukkan bahwa sebanyak 57,5 % penduduk Indonesia berada di Jawa. Di  luar Jawa sekitar 50 % berada di Pulau Sumatera.

Penduduk Indonesia pada dasarnya bersifat agraris-pedesaan. Situasi ini bervariasi antar daerah, yang dapat dilihat pada perimbangan antara jumlah penduduk yang bertempat tinggal di wilayah perdesaan dan wilayah perkotaan (wilayah urban).

Penduduk di wilayah pedesaan sebagian besar masih merupakan petani atau buruh tani yang pendapatannya berasal dari bercocok tanam. Karena itu, ketergantungan penduduk terhadap lahan sangat besar. Pertumbuhan jumlah penduduk petani mengakibatkan luas lahan yang diolah semakin kecil, sehingga makin banyak petani yang tidak mempunyai lahan. Keadaan ini menyebabkan tekanan penduduk terhadap lahan.

Artinya, kebutuhan akan lahan garapan terus bertambah tetapi luas lahan terbatas. Sehingga kemampuan suatu daerah untuk mendukung kehidupan, yang disebut daya dukung lingkungan, terbatas pula.

“Karena tekanan penduduk terhadap lahan terus bertambah maka daya dukung lingkungan akan terlampaui” ujar Dr. Asep Sofyan, St. Mt, Sekretaris Pusat Studi Lingkungan Hidup ITB dalam webinar tersebut.

Untuk mengatasi lahan pertanian yang semakin terbatas, pemerintah membuka lahan gambut dengan segala tantangannya. Pembukaan lahan dilakukan mengingat luasnya areal lahan gambut di Indonesia. Keberadaan lahan  gambut ini disentuh Prof. Dr. H Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc, Rektor Universitas Lambung Mangkurat, dalam Webinar tersebut.

Suasana Webinar Series 4 Mewujudkan Indonesia Emas Tahun 2045. (Foto:red)

“Wilayah  Kalimantan merupakan  raksasa sedang tidur.  Potensi besar untuk kesejahteraan bangsa dan negara. Menjadi kawasan ‘food estate’. Eks lahan gambut ada seluas 1 juta hektare,” ujar Sutarto.

Sesungguhnya lahan gambut memiliki  tingkat keasaman yang  tinggi. Karenanya sulit  dikembangkan menjadi lahan pertanian. Namun akibat  penyusutan lahan pertanian di Jawa sangat pesat, maka pemanfaatan lahan gambut menjadi tuntutan yang semakin kuat.

Melalui rekayasa tepat guna, lahan gambut berhasil  diubah menjadi lahan pertanian yang produktif  dan subur. Diperuntukan bagi pertanian yang berkelanjutan.

“Alhamdullilah, kini kami bisa menghasilkan beras di lahan gambut 1 hektare untuk tujuh ton. Prospek yang baik. Kini, Kalimantan Selatan mengembangkan puluhan ribu hektare lahan gambut untuk diolah menjadi area pertanian,” jelas Sutarto.

“Tidak berbahaya dan tidak merugikan kita. Dengan begitu kita bisa mempertahankan  ketahanan pangan untuk kesejahteraan masyarakat. Restorasi lahan gambut cukup berhasil,” ujarnya menambahkan. Sementara Asep Sofyan melihat banyak hutan di Indonesia di konversi. Akibatnya kawasan hutan pun berubah fungsi. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah.

“Kita harus memiliki strategi menjaga hutan kita.  Sudah saatnya kita melakukan.  intensifikasi pemanfaatan lahan produktif dibanding terus memperluas,” ujar Asep yang mencontohkan pengelolaan sawit di mana pemerintah  Malaysia mewajibkan melakukannya secara intensifikasi.

Hasil produksi sawit, klaim Asep,  justru lebih banyak dari Indonesia.   Namun begitu, untuk pulau yang  relatif luas, Asep menyarankan agar pemerintah menyinergikan dengan  daya dukung dan  daya tampung lingkungan. “Rumusnya sudah ada. Tinggal bagaimana kita memakainya,” ujarnya.

Berdasarkan  UU.No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya.(rls)

 

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *