Wira (Huang De Wei) di depan Jinan University Chinese Language College, Guangzhou, Tiongkok — kini dinamai Gedung The Ning King (Zheng Nian Jin) sebagai bentuk penghormatan kepada almarhum.(Foto: Istimewa)
JAKARTA, NP – Dunia bisnis Indonesia kembali kehilangan salah satu tokoh pentingnya. The Ning King, pendiri Argo Manunggal Group dan sosok di balik pengembangan kawasan Alam Sutera, berpulang di Singapura pada 2 November 2025, dalam usia 94 tahun.
Lahir di Bandung, Jawa Barat, pada 20 April 1931, almarhum dikenal sebagai pengusaha visioner yang berperan besar dalam mendorong industrialisasi di Indonesia, khususnya di sektor tekstil. Yang menarik, The Ning King tetap mempertahankan nama Tionghoanya sepanjang hayat, tanpa merasa perlu menggantinya demi menyesuaikan diri dengan zaman.
“Beliau memiliki daya ingat luar biasa. Dalam rapat apa pun, bahkan sebulan kemudian, almarhum masih ingat detail pembahasan,” kenang Wira (Huang De Wei), asisten pribadi almarhum sejak 2014 hingga 2020 kepada redaksi, Kamis (13/11/2025).
Wira mengisahkan, dirinya kerap mendampingi almarhum dalam pertemuan bisnis dengan pengusaha asal Tiongkok. “Banyak yang tidak fasih berbahasa Indonesia, jadi saya membantu terjemahan, surat-menyurat, hingga notulen rapat,” ujarnya.
Selain di bidang bisnis, The Ning King juga aktif dalam kegiatan sosial dan kebudayaan. Ia terlibat dalam berbagai kegiatan corporate social responsibility (CSR), mendukung pertukaran budaya melalui Perhimpunan Persahabatan Indonesia–Tiongkok (PPIT), serta turut membantu pembangunan Museum Budaya Tionghoa di Taman Mini Indonesia Indah.
Tak hanya itu, almarhum juga berperan dalam perkumpulan Hokchia se-Dunia, bahkan ikut membangun hotel secara patungan dengan perantau Fuqing di Kuching, Malaysia — kota asal leluhurnya di Provinsi Fujian, Tiongkok.
Dari Sekretaris Mandarin hingga Konglomerat Besar

Perjalanan panjang The Ning King dimulai sejak era Orde Lama. Ia sempat ditunjuk Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo sebagai sekretaris bahasa Mandarin untuk mendukung kerja sama ekonomi. Peran penting juga dimainkan saat normalisasi hubungan diplomatik Indonesia–Tiongkok tahun 1990-an, ketika almarhum turut menjadi penghubung dalam perdagangan bilateral dan melapor langsung kepada Presiden Soeharto.
“Beliau masuk dalam jajaran sepuluh besar konglomerat Indonesia pada masa Orde Baru. Pak Harto bahkan beberapa kali mengundangnya ke peternakan Tapos di Bogor,” ujar Wira mengenang.
Jejak bisnis The Ning King membentang luas: mulai dari industri tekstil, pabrik baja dan seng, pakan ternak, hingga kawasan industri. Salah satu tonggak awal kariernya dimulai dari toko kecil di Jl. Pintu Kecil No. 38, Roa Malaka, Tambora, Jakarta Barat. Nomor 38 kemudian menjadi ciri khas yang melekat — bahkan menjadi plat nomor kendaraan pribadinya.
Warisan Abadi
Ketekunan dan visi besar membuat Argo Pantes — salah satu perusahaan tekstil di bawah grupnya — tetap bertahan hingga kini, meski tidak sebesar masa jayanya. “Satu lini produksi masih berjalan di Tangerang. Itu bagian dari warisan yang tetap dijaga,” tutur Wira.
Selain dunia industri, almarhum juga sempat menjadi komisaris Yayasan Universitas Tarumanagara (Untar), dan turut memprakarsai penggabungan Xinya College dengan Untar. “Walau secara bisnis merugi, beliau tetap mempertahankan lembaga pendidikan itu karena yakin pentingnya mencetak generasi muda yang terdidik,” tambahnya.
Dalam salah satu kisah yang diceritakan kepada Wira, almarhum masih mengingat pesan Perdana Menteri Tiongkok Zhou Enlai dalam Konferensi Asia-Afrika 1955. “Orang Tionghoa di luar negeri seperti anak yang menikah ke luar, tapi tetap ingat orang tuanya. Di mana pun berada, harus memberi manfaat bagi masyarakat setempat,” ujarnya menirukan pesan itu.
Warisan semangat kerja keras, nasionalisme, dan kepedulian sosial menjadikan The Ning King bukan hanya seorang pengusaha sukses, tetapi juga sosok yang memperkuat jembatan persahabatan antara Indonesia dan Tiongkok. (Liu)







Be First to Comment