JAKARTA, NP- Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan Perum Bulog dapat mengendalikan harga beras yang meningkat di 79 daerah. Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan ada 23 provinsi yang tingkat inflasinya berada di atas realisasi inflasi nasional.
“Ini yang menjadi catatan; Sumatera Barat inflasinya 7,43%, Sulawesi Tenggara 7,39%, Kalimantan Selatan 6,99%, Riau 6,81% dan daerah lainnya. Jadi terhadap 23 provinsi ini Pak Gubernur mohon diperhatikan,” terang Airlangga yang juga Ketua Umum DPP Partai Golkar.
Pakar ekonomi dari Universitas Jember (Unej) Adhitya Wardhono mengungkapkan ketersediaan beras selalu menjadi polemik tiap tahunnya. Terlebih di penghujung 2022, Indonesia sempat impor beras. Komoditas beras masuk komoditas pangan yang harganya perlu dipantau.
Oleh karena itu, neraca komoditas yang diterapkan oleh Badan Pangan Nasional (BPN) harus jelas dan tepat serta mampu berkoordinasi dengan stakeholder terkait secara lebih progresif.
“Mengingat ini komoditas ini masih menjadi komoditas utama yang menyumbang inflasi di Januari 2023. Merujuk info dari BI (2023), paling tidak beras merupakan salah satu dari empat komoditas pangan penyumbang inflasi, selain cabai rawit, cabai merah dan bawang merah,” ujar Adhitya, Selasa (17/1/2023).
Menurut Adhitya, Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) harus berkolaborasi untuk memantau dan memastikan pergerakan komoditas beras. Mereka juga harus turun ke pasar-pasar.
“Pastikan bahwa stok beras nasional cukup. Jika dirasa ada pergerakan harga yang dapat menganggu daya beli masyarakat, khususnya masyarakat pra sejahtera dan menjadi pemantik inflasi maka kebijakan strategis lintas lembaga perlu dilakukan,” tegasnya.
Selain itu, menurut Adhitya, strategi pengendalian harga seperti operasi pasar dan pasar murah sangat diperlukan dalam jangka pendek. Apalagi saat ini Indonesia tengah berupaya pulih dari pandemi, sehingga perlu kontiyuitas dan konsistensi pengendalian inflasi pangan.
“Masyarakat masih mengalami memar ekonomi karena pandemi. Oleh karenanya operasi pasar murah sembako, terutama beras, minimal dapat mengurangi shock kenaikan harga pangan dalam jangka pendek,” imbuhnya.
Kendati demikian, Adhitya menekankan pentingnya kebijakan jangka panjang. Sebab strategi pasar murah ataupun operasi pasar berpotensi memunculkan moral hazard di pasar ketika dilakukan dalam jangka panjang.
Untuk itu, pemerintah perlu melakukan terobosan kebijakan yang dapat menopang ketersediaan pangan, yaitu: seperti peningkatan produktivitas padi secara ekstensif, tata kelembagaan antar lembaga terkait, pembenihan bibit unggul yang tahan perubahan iklim dan hama, sistem distribusi pangan yang perlu koordinasi sangat ketat antara pemangku kepentingan.
“Maka dalam kaitannya dengan volatile food inflation, pola meredam inflasi pangan dengan koordinasi antar lembaga negara dan pemerintah menjadi agenda penting yang harus segera dilakukan di awal tahun ini,” ungkapnya.
Adhitya juga menekankan pentingnya koordinasi dan kolaborasi dalam menghadapi persoalan pangan di Indonesia. “Bangun relasi yang kuat tidak saja meng-arus ke ruas berbagi informasi, tetapi juga dalam ruang analisis strategis yang akomodatif terhadap kenaikkan harga pangan dan kelangkaan pasokan pangan terutama beras,” pungkasnya.
Terkendali
Sementara itu, Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky mengatakan, extra effort pengendalian yang dilakukan TPIP-TPID sudah cukup baik jika dibandingkan dengan negara lain. Untuk beberapa daerah kata dia, masih ada isu pasokan dan musim sehingga perlu penguatan lebih lanjut.
“Sejauh ini progressnya sudah cukup baik dalam mengendalikan inflasi Indonesia yang walaupun tinggi, masih jauh lebih manageable ketimbang negara lainnya,” kata Riefky, Selasa (17/1).
Tingkat inflasi domestik ini jauh lebih baik dibandingkan dengan beberapa negara yang lonjakan inflasinya sangat ekstrem, misalnya Argentina mencapai 94,80%, Turki 64,27%, Rusia 11,9%, dan Italia 11,6%.
Kemudian untuk inflasi kuartal 1, Riefky memperkirakan masih berada diatas 5% karena ada momen puasa dan lebaran. “Dugaan kami masih diatas 5%, mungkin di kisaran 5.2-5.4% karena di Q1 ini masih ada faktor musiman bulan puasa sehingga masih ada tekanan inflasi keatas walaupun trennya sedang menurun,” sebut Riefky.
Untuk menjaga inflasi, pemerintah diminta menjaga domestik ekonomi dan juga nilai tukar. Lebih lanjut inflasi Indonesia pada tahun ini akan berada pada kisaran 4% hingga 5% secara tahunan (year on year/yoy). Hal ini masih seturut dengan target pemerintah.
Lebih lanjut pemerintah menargetkan tingkat inflasi pada 2023 mencapai sasaran 2 hingga 4%, dengan asumsi di APBN Tahun Anggaran 2023 di 3,6%. (dito)
Be First to Comment