JAKARTA, NP – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) meluncurkan strategi pemanfaatan (harvest strategy) pengelolaan perikanan rajungan, kakap dan kerapu serta lembaga pengelola perikanan wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (LPP WPPNRI). Peluncuran tersebut dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo didampingi Direktur Jenderal Perikanan Tangkap M. Zulficar Mochtar.
Dalam sambutannya Edhy mengatakan komoditas rajungan, kakap dan kerapu berkontribusi terhadap devisa Negara sebesar Rp 5,4 triliun per tahun baik dalam bentuk hidup, segar, beku maupun olahan lainnya. Produk perikanan tersebut juga merupakan sumber pendapatan nelayan skala kecil.
“Ikan-ikan ini dominan ditangkap oleh nelayan skala kecil. Namun, adanya perilaku konsumen dan besarnya permintaan pasar mengakibatkan eksploitasi yang berlebih sehingga berdampak pada penurunan stok rajungan, kakap dan kerapu,” ujarnya.
Menurut Edhy strategi pemanfaatan perikanan ini mampu menjamin masa depan kedaulatan pangan. Selain itu, komoditas yang berlabel lingkungan mampu meningkatkan daya saing produk Indonesia dalam pasar global.
“Penangkapan ikan yang dilakukan nelayan tentu bisa merusak potensi komoditas perikanan tersebut apabila tidak dikendalikan dan diatur. Oleh sebab itu, kita perlu mengatur sedemikian rupa melaui strategi pemanfaatan ini, misalnya batas ukuran penangkapan ikan dengan berat minimal 500 gram dan panjang karapas rajungan minimal 10 cm,” jelasnya.
Di kesempatan yang sama Zulficar menyampaikan strategi pemanfaatan tersebut menjadi acuan praktik penangkapan ikan yang bertanggung jawab untuk pengelolaan perikanan berkelanjutan. Apalagi karakteristik 11 WPPNRI yang berbeda merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah dan para pemangku kepentingan di bidang perikanan.
“WPPNRI sebagai basis spasial pembangunan kelautan dan perikanan telah ditetapkan dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024. Untuk itu peran koordinasi LPP WPPNRI menjadi penting sebagai wadah koordinasi untuk mengusulkan rekomendasi arah pengelolaan perikanan bukan eksekutor kebijakan. Pengambilan keputusan kebijakan perikanan tetap dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan,” paparnya.
Zulficar menambahkan perikanan rajungan Indonesia telah menempati urutan ketiga nilai ekspor hasil perikanan setelah tuna dan udang dengan menyumbang nilai ekspor sebesar Rp 4,6 triliun per tahun. Negara tujuan ekspor rajungan terbesar adalah Amerika Serikat (71%) disusul Jepang (9%), dan Malaysia (7%). Pekerja di industri ini menyerap sekitar 275.000 orang.
“Strategi pemanfaatan untuk pengelolaan perikanan rajungan berkelanjutan sangat penting diterapkan dengan mempertimbangkan aspek ekologi dan ekonomi. Selain membatasi ukuran minimum karapas dengan lebar 10 cm juga pada izin kapal penangkap ikan yang harus terdaftar agar mudah pengendaliannya,” imbuhnya.
Sementara itu, perikanan kakap berkontribusi sebesar 45% dari volume total kakap yang diperdagangkan di dunia dengan nilai ekspor sebesar Rp 200 miliar per tahun. Sedangkan pada perikanan kerapu, Indonesia menempati posisi kedua produsen kerapu di dunia yang menyumbang nilai ekspor sebesar Rp 567 miliar per tahun. Volume ekspor kerapu pada tahun 2018 mencapai 6.794 ton.
“Besarnya permintaan ekspor ini mendorong intensitas eksploitasi penangkapan, sehingga berpotensi menurunkan stok dan merusak habitat alami. Untuk itu, agar pemanfaatan potensi perikanan kakap dan kerapu terus optimal, pemerintah perlu mengatur dan mengendalikan penangkapannya tak hanya pada ukuran dan berat minimal namun juga dari pengunaan alat penangkapan ikan yang selektif,” tandasnya.(red)
Be First to Comment